GOLDEN WORDS

Akar Segala Kebaikan Adalah Taqwa, Jika Akar Itu Ada Maka Semuanya Ada

Sunday, November 20, 2011

NAMA SAYA FATIMAH DAN SAYA AHMADIYAH

Rabu, 16 Nov '11 18:35

"Nama saya Fatimah dan saya Ahmadiyah," ucap perempuan berkerudung hitam itu dengan lugas. Tanpa ragu, dia dengan lantang menyebutkan identitasnya keyakinannya. Dalam sebuah forum kecil, sore ketika kabut turun kecoklatan di Puncak. Perempuan itu menarik perhatian dua puluh orang lain di forum. Suasana seketika ricuh dan dia tetap bicara. Tentang dirinya, tentang keyakinannya.
"Orang tua saya Ahmadi, dan saya Ahmadi sejak dalam kandungan," tuturnya.
Sebagian dari dua puluh itu geleng-geleng kepala, sebagian mengelus dagu yang tak berjenggot, keningnya mengerut menampakan tengah memikirkan sesuatu. Saya, dengan perasaan haru berkonsentrasi menangkap rautnya dalam kamera, dan ahhh rautnya yang manis membuat saya cemburu. Dia cantik dan pemberani.
Sore itu kali pertama pertemuan saya dengan Fatimah, kami berkenalan dan mengobrol banyak hal. Dia mahasiswa semester tiga jurusan Filsafat, Paramadina. Ternyata dia perempuan yang doyan mengobrol dan asyik untuk menjadi kawan berdiskusi. Tiga hari dalam sebuah forum pelatihan mengenai isu pluralisme kami mendiskusikan banyak hal, salah satunya perihal Ahmadiyah.
Mengapa Ahmadiyah?
Belakangan perhatian masyarakat sangat tercuri dengan isu Ahmadiyah, media nasional dengan sering memberitakan tentang Ahmadiyah, media sebagai sumber utama dalam penyebaran informasi, namun disayangkan media lebih sering memicu konflik dari pada meredam kesalahpahaman. Kenapa? sebab media lagi-lagi tidak memihak pada kaum minoritas (red:Ahmadiyah)
Ade Armando, salah seorang pengamat media mengatakan "bahwa media massa pada dasarnya memiliki peran penting dalam menentukan pengetahuan masyarakat."
Media cenderung menonjolkan perdebatan pemahaman tentang Ahmadiyah yang meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad, adalah Al-Mahdi; tanda akhir zaman yang mendapatkan nubuwat atau ilham kenabian untuk menuntuk sebuah gerakan pembaharuan Islam. Bagi kelompok Islam tertentu, yang diyakini oleh jemaah Ahmadiyah dianggap sesat dan penodaan terhadap agama*.
Nah, disini media kerap memberitakan Ahmadiyah dengan bias. Ahmadiyah lebih sering diberitakan dengan menggunakan kata "sesat", yang lebih mengarah bahwa Ahmadiyah adalah non-Islam. Terlebih dengan diterbitkannya SKB tiga menteri yang anti Ahmadiyah. Dimana pada perkembangannya SKB menyulut berbagai konflik yang meresahkan.
Fatimah kecewa dengan sikap media, dengan pemerintah yang turut andil 'mengompori' publik lewat kebijakan yang inkonstitusional. Konflik Cikeusik, misalnya, begitu disayangkan mengapa sampai terjadi dan aparat diam saja?
"Sudah jelas kami dianiyaya tapi mereka (aparat) tetap saja menyalahkan kami," lanjutnya dengan pilu. Konflik yang terjadi di Cikeusik, memakan korban nyawa Ahmadi. Dan sampai sekarang kasusnya masih belum tuntas.
Perlahan Fatimah menghabiskan kopinya, sedang saya menyudut di sofa. Membayangkan betapa ahhh...tidak mudah menjadi seorang Ahmadi.
"Keimanan saya semakin diuji dan saya semakin mencintai agama saya," kata Fatimah diakhir percakapan.
Berbeda dengan Fatimah yang percaya diri menyebutkan identitasnya sebagai jemaah Ahmadi, Irma Nurmayanti, salah seorang mahasiswi dari Univeristas Mataram yang saya temui-lagilagi-dalam sebuah forum diskusi di Lombok bersikap sebaliknya. Dia begitu takut untuk bicara pada orang banyak bahwa dirinya adalah jemaah Ahmadiyah.
Peristiwa penyerangan/pengusiran jemaat Ahmadi yang brutal pada tahun 2002 membuat Irma trauma, suara-suara lemparan batu ke rumahnya pada malam yang naas itu membuat dia bungkam jika berbicara agama.
Pada hari ketiga pelatihan berlangsung, Irma akhirnya berani membuka suara "Ya, saya Ahmadi," ucap Irma terbata-bata. Suaranya tak jelas, kata-kata ditahannya di pikiran. Ia masih takut. Air matanya jatuh, wajahnya memerah seketika. Bayangan peristiwa malam itu masih terbayang.
Saya kembali kagum pada keberanian seseorang yang berani menyebutkan dirinya bahwa dia Ahmadi. Selama pelatihan berlangsung, Irma sudah mendengar komentar perserta lainnya berkomentar soal ini-itu tentang Ahmadiyah. Dia sedih, bahwa ternyata Ahmadiyah masih dianggap sesat. Dia juga senang, sebab dengan begitu dirinya bisa berdiskusi langsung.
Deru ombak Senggigi dari balik jendela di lantai dua terdengar eksotis, pasir putihnya berkilauan. Beningnya warna laut begitu cantik, dan...apakah suasana hati Irma, seperti laut itu? Terlihat tenang dan, ehmd saya melamun.

Sumber:  http://persma.com/baca/2011/11/16/nama-saya-fatimah-dan-saya-ahmadiyah.html#komentar

No comments: