GOLDEN WORDS

Akar Segala Kebaikan Adalah Taqwa, Jika Akar Itu Ada Maka Semuanya Ada

Monday, November 21, 2011

TEROR PANJANG DI SUKADANA (1)

Teror tak juga mereda di Desa Sukadana. Bertahun-tahun warga Ahmadiyah menjadi korban intimidasi dan represi.
  • Lilik HS / Arwani
  • 31 Oktober 2011 - 9:29 WIB
Tawa anak-anak SukadanaHawa sejuk menyergap begitu memasuki Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, sekitar 35 kilometer dari kota Cianjur, Jawa Barat. Daerah ini memiliki kontur tanah bergunung-gunung, dikelilingi perkebunan teh dan kopi.
Sukadana merupakan basis Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang cukup besar di Cianjur. Ada sekitar 600 warga Ahmadiyah yang tersebar di beberapa dusun: Neglasari, Ciparay, Cieceng, Cilimus. Berpuluh tahun mereka hidup damai.
Minggu ketiga Agustus 2011, kami mengunjungi Desa Sukadana. Ade Ruspandi, Ketua Pemuda Ahmadiyah Cianjur Tengah, mengantar transit di rumah Pak Kamaluddin. Pak Kamal dan istrinya, Bu Sopiah, menyambut ramah. Minuman dan bertoples makanan segera dihidangkan begitu tahu kami tak berpuasa.
Siang itu ada kunjungan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dari Jakarta ke Ibu Euis, yang rumahnya dibakar pada Maret 2011.Warga kemudian bergotong-royong membangunkan rumah. Para pengurus JAI memanjatkan doa di depan rumah baru itu.
“Kebanyakan penduduk sini bertani atau jadi buruh tani di perkebunan kopi dan teh. Banyak juga yang wiraswasta, dagang,” tutur Pak Kamal. Tak lama menemani kami ngobrol, Pak Kamal pamit ke kebun.
Udara berhembus sejuk. Dari teras rumah tampak jajaran pohon pinus di seberang bukit berdiri kokoh. Sayang, keelokan alam dan keramahan warganya ini berbanding terbalik dengan tingkat kekerasan yang terjadi. Di tengah keheningan Sukadana, sejak 2005 pengikut Ahmadiyah terus dihujani represi. Massa yang dimobilisasi para kiai yang anti-Ahmadiyah, menguasai masjid Ahmadiyah untuk pengajian dan salat Jumat. Pengajian itu lebih banyak berisi hujatan yang kemudian berkembang menjadi penyerangan fisik.
Pada Juli 2011 empat rumah anggota Ahmadiyah diserang dan dibakar. Termasuk rumah Etin dan Abah Yahya, yang hendak kami kunjungi sore itu.
Pukul 15.00 kami diantar mobil ke Dusun Cilimus, sekitar 15 menit dari Neglasari. Jalanan berkelok-kelok melewati perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara VIII. Dari kaca spion, tampak sebuah sepeda motor menguntit sejak keluar dari Neglasari. Pengendaranya mengenakan baju koko dengan kopiah putih.
Tak ada yang tahu nama aslinya. Warga memanggilnya “Ustad” Yiyi. Berusia sekitar 40 tahun. Orang-orang bilang ia mantan residivis. Tak punya keluarga. Tak ada pekerjaan. Warga malas berurusan dengannya, karena ia suka nekat. Suka mengancam macam-macam jika permintaannya --  tak jauh-jauh dari uang -- ditolak. Jika sedang kepepet, disodori lima ribu rupiah pun ia sudah tersenyum lebar dan tak lagi merongrong.
Yiyi gemar memakai baju koko, yang sering kali sudah kumal, dipadu sarung atau celana komprang dan kopiah. Jenggotnya dibiarkan mengembang. Entah siapa yang memulai, orang-orang menyebutnya ustad, kendati seingat mereka Yiyi tak pernah terlihat berceramah.
Yiyi menguntit hingga mobil berhenti di depan rumah pasangan Nuryatman dan Etin. Sebelum berangkat, Ade membekali dengan skenario sederhana: kami adalah saudara Etin dari Cianjur, yang sengaja berkunjung untuk menengok bayinya.
Etin, 26 tahun, sedang menimang bayi yang belum genap 40 hari ketika kami tiba. Etin berparas manis, dengan kulit kuning terang. Ia tersenyum ramah kendati agak bingung atas kunjungan mendadak ini.Etin melahirkan dalam pelarian
Nuryatman bergegas menggelar tikar. Pasangan ini memiliki tiga anak. Cahya, 9 tahun, Tiara, 6 tahun, dan si bungsu Rangga  Purnama. Cahya dan Tiara duduk di sebelah ibunya. Nuryatman  sesekali duduk menemani, sesekali keluar mengobrol dengan Yiyi.
“Mereka datang, teriak-teriak ‘Allahu Akbar’, terus lempar-lempar batu. Saya diem saja. Cuma bisa berdoa di kamar…” tutur Etin mengenang peristiwa menjelang Ramadan itu, Sabtu 30 Juli 2011. Sejumlah sepeda motor, dengan knalpot menderu, berputar-putar di jalanan depan rumah. Batu-batu melayang ke atas genting. Empat genting remuk.
Parapenghuni rumah hanya bisa mengunci diri di kamar. Lampu dimatikan. Etin sedang hamil Rangga ketika itu.
Bagi Etin, peristiwa malam itu tak seberapa parah dibanding enam tahun silam. Saat itu kondisinya sama, ia tengah hamil sembilan bulan.
Etin perlu menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. 20 September 2005, sejak siang suasana di Sukadana sudah memanas. Malam hari, puluhan orang merangsek ke dalam rumah. Perabot diacak-acak. Kaca-kaca jendela dipecah. Meja kursi dijungkirbalikkan. Warung kelontong dijarah. Suasana sangat kacau. Massa berteriak memanggil namanya.
"Mana awewe geulis, diperkosa wae!”Orang-orang terus berteriak. Etin, suami, dan anaknya terdiam di kamar. Mulutnya terus-menerus mendaraskan doa.
"Saya tak mampu berdiri. Kaki ini gemetar rasanya..." tutur Nuryatman.
Tengah malam itu, dengan bekal seadanya, mereka lari ke hutan.
"Saya lari terus, sambil pegang perut begini…." kata Etin.
Melihat Etin memperagakan memegang perutnya, saya mendadak ngilu. "Nggak sakit? Nggak bikin kontraksi?"
Etin menggeleng. "Nggak tahu ya, kuat saja tuh...."
Selama dua hari mereka mengungsi ke hutan di pinggir desa. Membuat tenda seadanya. Tidur beralas tikar. Dua hari kemudian, ia mengalami kontraksi dan dilarikan ke bidan desa. Cahya pun lahir dengan persalinan normal.
Rangga menggeliat, tak lama kemudian tangisnya pecah. Etin segera meraih dan menimangnya. Di luar, sesekali ekor mata Yiyi melirik ke arah kami. Kami harus sembunyikan kamera dan merendahkan intonasi suara.
Etin hanya bersekolah hingga kelas VI SD. Sejak kecil ia kerap diejek sebagai warga Ahmadiyah. Etin kecil hanya mengadu ke ibunya dan sang ibu berulang-kali berkata, "Sabar. Kita jangan cari musuh…."
Etin tak mengerti mengapa teman dan gurunya selalu mengejek. Kupingnya kerap kali panas dituding “kafir” dan “sesat”. Ia merasa salat dan mengaji dengan cara sama seperti teman-temannya.
“Panas sebenarnya hati ini, tapi bagaimana lagi?! Nggak bisa apa-apa. Sabar ajalah....”
Etin kerap menghibur diri, "Ah, biarin lah, entar gede juga dia ngejar saya.…"
Etin memang berparas manis. Semasa muda ia menjadi kembang desa.
Jika dahulu ibunya menyuruh bersabar atas semua ejekan, kini ia melakukan hal yang sama kepada anak-anaknya. Si sulung, Cahya yang duduk di kelas V SD Sukadana, kerap pulang sekolah dengan menangis. Dia diejek teman-teman dan guru. Kadang juga ditimpuki. Dibanding Tiara, adiknya, Cahya terlihat lebih murung. Ia suka menarik diri dan menolak ketika diminta foto bersama.
“Cahya sering diledek teman-teman?” Saya menatap matanya, bertanya pelan-pelan. Cahya diam. Melirik ke arah ibunya. Tampak marah dan ingin menangis. Lantas ia berlalu meninggalkan kami dengan raut muka memerah.
“Ya, Cahya memang begitu…” kata Etin Etin tersenyum.
Ia memahami konflik batin anak-anaknya. Cahya kerap menangis dan marah-marah tanpa sebab. Toh, Etin dan Nuryatman tak punya pilihan lain selain bersabar. Ia sadar, risiko direpresi akan terus menghampiri.
“Yah, gimana lagi?! Kami tak pernah punya niat buruk….”Rumah warga Ahmadiyah dibakar massa
Abah Yahya, 87 tahun, masih bisa mengingat jelas peritiwa itu. Sabtu 30 Juli 2011 pukul 00.30, rumahnya di pinggir hutan Dusun Cilimus, beberapa kilometer dari Neglasari, dibakar orang tak dikenal. Cilimus hanyalah dusun kecil yang dihuni 11 keluarga, dengan total warga 35 orang.
Abah sedang terlelap di kamar depan. Irma, 15 tahun, cucunya yang kebetulan menginap, berteriak histeris melihat api membubung. Abah terbangun. Dalam gelap, ia menyaksikan api melalap dinding rumah dari anyaman bambu. Seluruh ruangan dikepung asap hitam. Abah sempat mencium bau minyak tanah. Nenek Rum, istri Abah yang sudah tuli, terlelap di kamarnya. Sengaja tak dibangunkan hingga subuh.
“Abah dan cucu padamkan api pakai selimut dan air,” tutur Abah terbata-bata, sering bercampur bahasa Sunda. Tetangga segera berdatangan. Hingga pagi, Abah tak bisa tidur lagi. Berpuluh tahun tinggal di Sukadana, baru kali itu rumahnya jadi sasaran.
“Abah tahu mengapa rumah mau dibakar?” tanya saya.
“Tahu. Karena Abah Ahmadiyah....”
“Mengapa Ahmadiyah jadi sasaran terus-menerus?”
“Ya, mereka berpendapat kami berbeda keyakinan. Padahal tidak. Yah, Abah cuma bisa sabar.”
“Abah marah atas semua perlakuan itu?”
“Nggak… cuma sedih, takut, kalau terjadi apa-apa sama Nenek. Kasihan Nenek, sudah tak bisa dengar.…” Abah terbatuk-batuk. Ia juga tak kecewa kendati pembakaran rumahnya tak pernah diusut polisi. Aparat desa pun mendiamkan saja.
Abah YahyaDalam usia 87 tahun, batuk kerap menderanya. Matanya sudah lamur. Tapi ingatannya tetap jernih. Ia masih hafal tahun lahirnya, 1924. Pada usia 33, tahun ia dibaiat sebagai muslim Ahmadiyah. Ayahnya dari Dusun Ciparay tergolong perintis organisasi keagamaan Ahmadiyah di Sukadana.
Abah menyaksikan ketika terjadi clash dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pada 1950-an. “Zaman DI/TII itu Abah pulang ke Ciparay, sempat dicegat pasukan mereka. Abah lihat banyak orang dibunuh.”
DI/TII didirikan Kartosoewirjo, semula menentang kolonial Belanda. Setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia. Dipicu kekecewaan terhadap kalangan nasionalis, juga hasil Perjanjian Renville, akhirnya mereka memberontak. Pada 4 Juni 1962 Kartosoewirjo menyerah, mengakhiri 13 tahun gerilya di hutan dan gunung-gunung di Jawa Barat.
Abah ingat, beberapa anggota DI/TII kerap mendatangi kampungnya meminta logistik. Warga Ahmadiyah dianggap pro-pemerintah republik, jadi sasaran empuk. Dengan kondisi geografis dikelilingi gunung dan hutan, Cianjur Selatan merupakan basis gerilya DI/TII.
Sehari-hari Abah tinggal bersama istri dan cucunya. Untuk hidup sehari-hari, ia mengandalkan kebun dan ternak. Ia masih sanggup mencangkul. Dua hari sekali, dengan kaki terpincang-pincang, ia berjalan ke bukit mencari rumput untuk tiga ekor kambingnya. Kadang, saat musim kemarau dan rumput sulit didapat, Abah harus berjalan berkilometer masuk hutan.
Di dapur sempit yang dipenuhi kepulan asap hitam, Nenek Rum, 85 tahun, memasukkan potongan-potongan kayu ke dalam tungku. Ketel nasi bertengger di atasnya. Sebentar lagi matang. Kedua cucunya menemani sore itu: Irma dan sepupunya, Sartika, 13 tahun. Mereka bersekolah di SMP PGRI, beberapa kilometer dari Cilimus yang ditempuh dengan berjalan kaki.
Irma dan Tika agak  pemalu. Bicara pelan dan kerap kali menunduk. Ketika tertawa, mereka menutup mulut dengan tangan. Irma sedikit lebih terbuka. Ia mau bercerita tentang teman-teman di sekolah yang sering mengejeknya.
“Mereka meledek. ‘Nabi Ahmadiyah itu Mirza Gulam. Kalau naik haji ke India.’ Pengen marah, tapi nggak bisa apa-apa. Diem aja.”
Tika bukan anggota Ahmadiyah. Ibunya anggota Ahmadiyah, ayahnya bukan. Ia mengikuti garis ayah.
“Tika tahu Irma sering diledek teman-teman?”
“Tahu..”
“Tika bukan Ahmadiyah, tidak ikutan menjelekkan Ahmadiyah, seperti teman-teman lainnya?”
Tika menggeleng, "Kasihan, kan saudara."
“Kalau Irma diledek, Tika membela?”
Tika menggeleng pelan, “Takut…..” Matanya melirik kepada Irma. Mereka berbagi senyum, lantas saling berpegangan tangan.
“Irma ingin jadi apa?”
“Jadi dokter.”
“Kalau Tika?”
Tika tersenyum, menggeleng. Irma dan Tika sangat sayang pada Abah dan Nenek Rum. Sepulang sekolah, mereka mampir ke rumah Abah, membantu memasak dan bersih-bersih.
Senja mulai turun di Cilimus, kami berpamitan pulang, kembali ke Neglasari. Abah mengantar hingga depan rumah.
“Apa yang membuat Abah yakin dengan Ahmadiyah? “
Abah terdiam sebentar. “Dulu, uyut Abah bilang, kita akan diserang oleh sesama orang Islam. Dulu Abah tak percaya, bagaimana mungkin orang sesama Islam kok menyerang? Baru sekarang setelah Ahmadiyah diserang, terbukti omongan uyut. Orang bacaannya sama. Syahadatnya sama. Qur’annya sama.”
 “Apa yang Abah harapkan?”
“Ingin damai. Mengamankan negara ini. Bukan dikacaukan. Jangan adakan kerusuhan. Yang aman. Tentrem, ayem, elingan. Ini gimana negara kok dikacaukan?” kata Abah dengan suara sedikit meninggi. (bersambung)
Foto-foto: VHRmedia / Perkumpulan 6211

Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=4768



KLARIFIKASI USTADZ YIYI

Seorang bernama Rusgandi (seorang Ahmadi) telah menelepone saya 18 Juni 2012 yang lalu dan meminta untuk mempublis sebuah tulisan KLARIFIKASI dari Ustadz Yiyi yang telah di beritakan di atas. Akan permitaanya tersebut setelah kami terima bahan via email, kami copaskan saja dengan print screen apa yang menjadi contens dari Klarifikasi tersebut.

No comments: