GOLDEN WORDS

Akar Segala Kebaikan Adalah Taqwa, Jika Akar Itu Ada Maka Semuanya Ada

Saturday, December 3, 2011

DIFABEL, DISABLE



Penggunaan istilah difable dan disable sebenarnya masih menjadi perdebatan. Ketidaksepakatan penggunaan istilah ini muncul dari perbedaan pemahaman sudut pandang. Difabel merupakan singkatan dari kata bahasa Inggris Different Ability People yang artinya Orang yang Berbeda Kemampuan. Istilah difabel didasarkan pada realitas bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan tidak menutup kesempatan untuk masuk dalam masyarakat. Pemahaman difable “menghilangkan” pemaknaan negatif dari kecacatan sehingga memungkinkan semua orang terlibat dalam kegiatan masyarakat dengan cara mereka masing-masing. Penggunaan istilah yang lain, yakni disable, berdasarkan istilah disability merupakan suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal akibat ketidakmampuan fisik.
Perbedaan penggunaan istilah difable dan disable berangkat dari sudut pandang yang berbeda dalam setiap kelompok. Istilah disable lebih mengarah pada perbedaan karena adanya ketidaksempurnaan bagian fisik sehingga tidak mampu melaksanakan aktifitas secara normal. Sedangkan istilah difable mencakup seluruh aspek tetapi melihatnya hanya sebagai sebuah perbedaan semata dan menerima cara bertindak yang berbeda tersebut. Walaupun demikian, kedua istilah ini telah memberikan sudut pandang yang lebih ramah terhadap kelompok difable dibandingkan dengan penggunaan istilah penderita cacat atau penyandang cacat. Istilah penderita atau penyandang cacat cenderung membangun anggapan bahwa kecacatan adalah suatu beban. Penderitaan tersebut dijadikan stigma negatif dalam masyarakat yang menutup kesempatan bagi kelompok difable untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakat.
Aksesibilitas
Perbedaan kemampuan difable tidak boleh menjadi hambatan dalam beraktifitas. Jaminan atas kemudahan fasilitas difable tersebut harus disediakan pemerintah dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Aksesibilitas difable telah dijelaskan dalam beberapa undang-undang di Indonesia antara lain UU no. 4 tahun 1997 lewat asal 10 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.”
Jaminan aksesibilitas difable berupa aksesibilitas fisik yang membangun lingkungan agar difable dapat terlibat di dalamnya dengan mudah tanpa bantuan. Lebih luas lagi, aksesibilitas fisik mencakup akses terhadap berbagai bangunan, alat transportasi dan komunikasi, serta berbagai fasilitas di luar ruangan termasuk sarana rekreasi. Dengan adanya jaminan penyediaan aksesibiltas difable, maka perbedaan tidak lagi menjadi hambatan untuk beraktifitas dan bermasyarakat.
Perempuan dan Difable
Isu diskriminasi terhadap perempuan berakar dikotomi ekstrim perbedaan tubuh antara  perempuan dan laki-laki. Perbedaan secara biologis tidak dapat dijadikan perbedaan perlakuan dalam masyarakat terhadap perempuan. Namun, pada kenyataannya justru perempuanlah yang sering mengalami perlakuan diskriminatif. Minoritas perempuan semakin terasa ketika terkait dengan isu minoritas lainnya, salah satunya adalah isu difable. “Ketidaknormalan”[2] fisik pada difable dijadikan alasan untuk membedakan dan seakan-akan membatasi hak hidup dalam masyarakat. Perempuan difable mengalami diskriminasi ganda akibat jenis kelamin dan juga “ketidaknormalan” dalam masyarakat tersebut.
Perempuan difable membutuhkan jaminan dari negara atas hak hidup yang setara dalam masyarakat. Jaminan tersebut tidak hanya lewat undang-undang, melainkan juga melalui aksesibilitas yang ramah terhadap perempuan difable. Jaminan dan aksesibilitas tersebut dapat berupa pelayanan yang ramah dalam persoalan kesehatan reproduksi, serta pemenuhan hak hidup dalam dunia kerja. Kesempatan harus diberikan pada mereka. Stereotipe perempuan yang lemah akan semakin dilemahkan pada perempuan difable sehingga kesempatan bagi perempuan difable untuk mengapresiasikan dirinya dalam masyarakat terbatas. Logika berpikir patriarkal mengandaikan bahwa mereka yang ingin terlibat penuh dalam kegiatan bermasyarakat, harus mengikuti standar yang telah ditetapkan. Syarat pertama adalah mampu bersaing dengan standar laki-laki. Pengandaian logika patriarkal tersebut telah mengeliminasi keberadaan perempuan, terutama perempuan difable. Jaminan undang-undang yang diikuti oleh penyediaan aksesibilitas tidak akan berhasil apabila tidak ada penyadaran dalam masyarakat. Hak perempuan difable dalam negara sama seperti hak warga negara lainnya. Oleh sebab itu, mereka pun berhak mendapatkan kehidupan layak dalam hidup bermasyarakat.


[1] Dalam penulisan edisi 65, Jurnal Perempuan sepakat menggunakan kata difable sebagai bentuk penyeragaman istilah. Penggunaan istilah difable merujuk pada “perbedaan” dari orang lain tetapi tidak menjadikannya ia sebagai “the other”. Namun, kami memberikan kebebasan bagi penulis dalam menggunakan istilah difable atau disable dengan pemahaman mereka.
[2] “Ketidaknormalan” dalam konteks ini menunjukkan adanya standar normal dalam masyarakat sehingga mereka yang berbeda akan dianggap tidak normal.
http://jurnalperempuan.com/2011/05/difable-disable/
Sumber: 
Dikutip dari: Jurnal Perempuan #65 “Mencari Ruang untuk Difable”

No comments: