GOLDEN WORDS

Akar Segala Kebaikan Adalah Taqwa, Jika Akar Itu Ada Maka Semuanya Ada

Monday, November 21, 2011

Menanggapi La Ode Ida, Wakil Ketua DPD RI

Sumber: http://dildaar80.wordpress.com/2011/10/20/menanggapi-la-ode-ida-wakil-ketua-dpd-ri/  

Jawaban terhadap MD La Ode dalam artikel ‘Ahmadiyah bukan Islam haq’
Ahmadiyah Islam Haq
Dalam dunia sains, hasil percobaan dan kesimpulan sebuah telaah ilmiah ataupun penelitan dapat dikatakan benar apabila didukung oleh metode dan piranti yang benar, data yang valid, serta analisis yang sesuai dengan metode dan piranti yang digunakan. Kebetulan di dalam Harian Terbit, Selasa, 1 Desember 2009 terdapat tulisan saudara MD La Ode, seorang mahasiswa Program Doktor (S3) Jurusan Ilmu Sosial di Universitas Indonesia , yang berjudul, ‘Ahmadiyah bukan Islam haq’. Saya ingin memberikan tanggapan secara akademis terhadap tulisan tersebut apakah telah dibuat secara sistematis, memenuhi kaidah-kaidah ilmiah dan memenuhi asas kepantasan, karena ditulis oleh seorang calon doktor?
Di dalam tulisan saudara MD La Ode sekurang-kurangnya terdapat dua buah academic atau research questions, yaitu: (1) ingin mengetahui secara pasti apakah Ahmadiyah itu agama Islam atau bukan? (2) mengapa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan?
Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas saudara MD La Ode menggunakan studi literatur, khususnya untuk membandingkan persamaan dan perbedaan antara Islam arus utama dengan Ahmadiyah. Dalam pembahasan berikutnya saudara MD La Ode sudah membuat sebuah asumsi bahwa Islam haq adalah keyakinan Islam yang sesuai dengan pemahaman dan jalan pikirannya. Literatur yang ia gunakan yang dijadikan pembenar adalah:
Pertama, definisi Islam yang diterangkan oleh Prof. Dr. Zakiah Darajat; kemudian diikuti dengan penjelasan yang berupa opini dari yang bersangkutan, namun tidak mengikuti sistematika yang diterangkan dari definisi tersebut. Sebagai contoh, Dr. Zakiah Darajat mengatakan bahwa agama Islam mengandung tiga unsur substantif, yaitu: (1) Rukun Iman, yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, serta Qadha dan Qadar; (2) Rukun Islam, yang meliputi syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji; (3) ihsan, berakhlak, shalih (ibadah kepada Allah), dan bermua’malah dengan sesama makhluk Allah dengan penuh keihlasan seakan-akan disaksikan oleh Allah.
Dengan tidak merujuk kepada definisi Islam yang dijelaskan Dr. Zakiah Darajat sebagaimana urut-urutan di atas tiba-tiba saudara MD La Ode mengatakan bahwa: (1) Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi/rasul, (2) Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Masih Ma’ud, dan (3) Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi/rasul yang mendapat wahyu Tuhan, dan (4) Mirza Ghulam Ahmad mengaku kedatangannya sebagai kedatangan Rasulullah yang kedua, (5) Mirza Ghulam Ahmad mengklaim sebagai manifestasi dari semua nabi, dan (6) Mirza Ghulam Ahmad mengklaim mendapat mukjizat. Jadi bagaimana mungkin membandingkan tiga unsur substantif agama Islam dari Prof Zakiah Darajat dengan dengan keenam hal yang dikemukakan saudara MD La Ode? Seharusnya ia menanyakan kepada pengikut Ahmadiyah apakah mereka mempercayai Rukun Iman, Rukun Islam, dan ihsan, berakhlak, shalih serta mua’malah dengan sesama makhluk Alah dengan penuh keihlasan?
Saya merasa haqul yaqin bahwa semua pengikut Jemaat Ahmadiyah sepakat dengan definisi Islam yang dikemukakan Prof. Zakiah Darajat, dan mereka melakukan dengan sepenuh hati. Mereka percaya kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, Qadla dan Qadar, membaca syahadat setiap hari, menjalankan shalat 5 waktu (bahkan sebagian besar dari mereka melakukan shalat Tahajud secara teratur), menjalankan puasa wajib dan nafal, memberikan zakat secara dawam dan sangat terorganisir dengan baik, dan sebagian dari mereka telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah dan Madinah, pada umumnya mereka manusia yang berakhlak baik, shaleh, dan hidup bermasyarakat dengan baik. Semua unsur-unsur substantif tersebut terdapat di dalam syarat baiat yang diucapkannya pada saat pertamakali mereka bergabung ke dalam Jemaat Ahmadiyah dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian apa yang salah dengan keyakinan dan pelaksanaan agama Islam yang mereka jalankan? Lupakah saudara MD La Ode, bahwa dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali mualaf (orang yang masuk Islam) hanya membacakan syahadat sekali seumur hidupnya ketika proses akad nikah dan mereka tetap diakui sebagai umat Islam. Dengan demikian keislaman seseorang identik dengan syahadat semata? Bukankah demikian prakteknya?

Kedua, pandangan Ir. Soekarno, (mungkin saudara MD La Ode tidak tahu bahwa hal ini tertulis di dalam buku ‘Di bawah Bendera Revolusi’). Jika Ir. Soekarno menolak menolak kenabian dan kemujaddidan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, maka hal tersebut merupakan urusan pribadi beliau. Tidak semua pendapat Ir. Soekarno benar, karena beliau tidak dituntun oleh wahyu Illahi. 
Sangat mungkin beliau salah. Pandangan Ir. Soekarno kemudian dibumbui oleh saudara MD La Ode dengan opininya sendiri tentang hal yang ia sendiri mungkin tidak faham seperti misalnya ia mengatakan bahwa kenabian Mirza Ghulam Ahmad adalah bentukan pemerintah Inggris. Apa dasarnya? Tidak ada fakta yang mendukung opininya tersebut. Mungkin ia hanya mengutip opini orang lain? Itukah cara-cara penulisan ilmiah dalam mencari kebenaran? Sebaliknya saudara MD La Ode tidak pernah menyatakan bahwa Ir. Soekarno di dalam buku tersebut memberikan pujian dan penghargaan terdahap karya Jemaat Ahmadiyah yang melakukan dakwah Islam di Eropa dan Afrika serta penerbitan buku-buku yang beliau katakan sangat rasional. Yang pasti Ir. Soekarno tidak pernah mengatakan bahwa anggota Jemaat Ahmadiyah
bukan Islam.
Ketiga, literatur yang berasal dari H.M Amin Djamaluddin. Salah satu diantaranya Amin Djamaluddin mengatakan bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad melakukan plagiatism terhadap Al-Qur’an. Baik saudara MD La Ode maupun H.M Amin Djamaluddin mungkin tidak tahu bahwa demikian banyak ayat-ayat Taurat yang sama atau mirip dengan Al-Qur’an. Cerita nabi-nabi mulai dari Adam, Nuh, Luth, Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaeman, ……. hingga Isa, telah tertulis di dalam kitab nabi Musa sekitar 2000 tahun sebelum kelahiran Islam. Cerita yang relatif sama juga termuat di dalam Al-Qur’an dan demikian banyaknya, sehingga saya tidak perlu memberikan contoh. Dengan demikian apakah nabi Muhammad telah melakukan tindakan plagiat atau membajak Taurat? Tentunya tidak demikian. Ketika Tuhan berkehendak maka Dia boleh saja dan tidak perlu meminta ijin kepada siapapun untuk memberikan wahyu yang sama kepada dua orang nabi yang berbeda masakehidupannya. 
Para ulama Yahudi dan Kristen boleh-boleh saja mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah plagiat dari kitab Taurat, tetapi umat Islam mengatakan bahwa cerita nabi-nabi yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah asli berasal dari wahyu Tuhan yang datang langsung kepada nabi Muhammad. Masing-masing agama dipersilahkan untuk membuktikan pendapat mana yang benar? Nampak sekali bahwa saudara MD La Ode hanya mengikuti apa yang dinyatakan oleh H.M Amin Djamaluddin sebagai sebuah kebenaran. H.M Amin Djamaluddin tidak pernah mengklaim menerima wahyu dari Tuhan, sehingga pandangan-pandangannya sangat mungkin salah. Pemahaman agama yang disampaikan H.M Amin Djamaluddin hanyalah sebuah tafsir dari kitab suci – bukan kebenaran haq.
Berkaitan dengan Tadzkirah, sejak berdiri lebih dari seabad yang lampau Jemaat Ahmadiyah tidak pernah memiliki kitab suci kecuali Al-Qur’an. Semua anggota Jemaat Ahmadiyah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an setiap hari. Tadzkirah hanyalah kumpulan mimpi, kasyaf, ru’ya maupun wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad selama hidupnya, kemudian disusun menjadi buku oleh Sir Zafrullah Khan jauh hari setelah kewafatan beliau pada tahun 1908. Tazkirah sama sekali bukan kitab suci bagi anggota Jemaat Ahmadiyah. Wahyu yang diterima seorang nabi tidak selalu berkaitan dengan kitab suci. 
Hanya sebagian kecil wahyu-wahyu yang diterima nabi Muhammad ‘masuk’ ke dalam Al-Qur’an, yaitu yang diberikan Tuhan pada malam-malam ganjil bulan ramadhan. Sungguhpun semua nabi-nabi menerima wahyu akan tetapi hanya beberapa
nabi saja yang ‘mendapatkan’ kitab suci. Contohnya, nabi Musa mendapatkan kitab Taurat, dan nabi-nabi setelah beliau mulai dari nabi Harun hingga nabi Isa mengikuti syariat Taurat, alias tidak membawa agama baru. Injil yang diberikan kepada nabi Isa bukanlah sebuah kitab syariat, dan beliau tidak pernah mendirikan agama. Artinya, jika Tuhan berkehendak Dia bisa memberikan wahyu atau berita lainnya kepada seseorang dikehendaki-Nya (baca Surah As-Syuura; 42:51). Wahyu yang diberikan Tuhan sebagaimana dalam surat tersebut tidak terkait dengan kitab suci maupun agama. H.M Amin Djamaluddin boleh saja menolak atau tidak percaya kepada wahyu yang diberikan Tuhan kepada seseorang, karena ia sendiri tidak pernah mengalami menerima wahyu sehinga tidak memahami hakikat wahyu. Apa yang dikatakan H.M Amin Djamaluddin belum tentu benar. Demikian juga jika saudara MD La Ode sependapat dengan H.M Amin Djamaluddin maka hal tersebut tidak ada yang melarang.
Keempat, yang menurut saya sangat tidak mendasar adalah pernyataan saudara MD La Ode yang mengatakan bahwa MUI adalah organisasi Islam yang dipahami sebagai pemegang otoritas tertinggi yang menentukan salah benarnya pelaksanaan hukum Islam di Indonesia baik secara individu maupun kelompok. Saya tidak mengerti apakah di dalam school of thought Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Indonesia diberikan pelajaran semacam ini? Saya sama sekali tidak percaya! Saya memahami MUI sebagai sebuah organisasi semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tidak terdapat dalam sistem hukum dan kenegaraan di Republik Indonesia, baik Undang-Undang Dasar (UUD), Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, atau lainnya. Lalu siapa yang memberikan otoritas? Tuhan tidak pernah memberikan otoritas kepada siapapun untuk menyatakan benar salah terhadap keyakinan individu atau kelompok, dan kemudian melarang dengan paksa. Nabi Muhammad juga tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk membentuk sebuah majelis ulama yang memiliki otoritas semacam itu. Lalu mereka belajar dari siapa?
Terahir, tulisan saudara MD La Ode ternyata belum menjawab academic questions yang ia sampaikan sendiri. Pertama, ia tidak membuktikan Ahmadiyah bukan Islam haq dengan bukti-bukti nyata, dengan data yang memadai, maupun metode yang benar. Kedua, ia tidak memberikan analisis alasan-alasan mengapa MUI menurunkan fatwa sesat dan menyesatkan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Sebaliknya, berdasarkan penjelasan saya di atas maka sesungguhnya anggota Jemaat Ahmadiyah adalah pemeluk agama Islam yang haq. Mereka percaya kepada Rukun Iman, melaksanakan Rukun Islam dengan baik, dan beribadah kepada Allah serta berhubungan dengan baik terhadap sesama umat manusia. Secara umum, tulisan saudara MD La Ode masih memerlukan perbaikan disana-sini agar tampak lebih sistematis, lebih memenuhi kaidah penulisan karya ilmiah maupun lebih memenuhi asas kepantasan Masih cukup waktu untuk memperbaiki metode penulisan ilmiah sebelum membuat disertasi anda. Selamat dan sukses.
(Dr. Ir. Soekmana Soma, MSP, M.Eng, pernah menjadi pengurus JAI, memperdalam Ilmu Perbandingan Agama di Wake Forest University, North Carolina, U.S.A, dan penulis buku Ada Apa dengan Ulama, Dialog antara dua kebenaran, Kebenaran Hakiki, serta Agama yang membebaskan).
Dr.Ir. Soekmana Soma
Bogor Baru D3/19
Bogor 16144
Berita dan Artikel yang Ditanggapi
NASIONAL – SOSIAL
Jum’at, 11 Februari 2011 , 18:02:00
La Ode Ida: Ahmadiyah Bukan Agama
JAKARTA – Wakil Ketua DPD La Ode Ida mengingatkan, penyelesaian
bernuansa tidak tegas alis abu-abu dalam menyikapi keberadaan Jamaah
Ahmadiyah justru melanggengkan masalah. Merurutnya, tak ada pilihan
lain kecuali penyelesaian yang tegas.
“Mau terus bermasalah atau mau selesaikan masalah. Ini harus tegas.
Pilihan yang soft atau abu-abu melanggengkan instabilitas dan tidak
akan pernah berakhir. Korbannya ialah rakyat,” kata La Oda Ida, saat
Talk Show DPD RI berjudul ‘Kasus Cikeusik: Harga Mahal Sebuah
Keberagaman’, di Kompleks Parlemen, Jumat (11/2).
Dari kasus Cikeusik, lanjut senator asal Sulawesi Tenggara itu, pihak
yang justru “berteriak” berasal dari kalangan luar Pandeglang dengan
mengatasnamakan HAM. Sementara warga Cikeusik sendiri tidak sedikitpun
bersuara melindungi Ahmadiyah. Ini bermakna secara sosial dan budaya,
Ahmadiyah mengalami penolakan dari warga sekitar.
Selain itu, banyak pihak yang tidak bisa menerima Ahmadiyah. Yang
dipengaruhi pun hanya sebagian orang, dan ini sangat terbatas.
Kekuatan yang sangat eksklusif ini, menurut dia, sangat berbahaya
apalagi karena mereka mengatasnamakan agama Islam.
La Ode Ida mengatakan Ahmadiyah bukanlah sebuah agama. Melainkan
sebuah aliran yang tidak besar, dianggap menyimpang, dan memiliki
pemahaman yang sangat luas. “Maka ini berbeda dengan agama yang sudah
ada. Dengan aliran kepercayaan pun Ahmadiyah berbeda. Oleh karena itu,
Ahmadiyah harus ditiadakan,” tegas Ida.
Ditiadakan, bermakna tidak boleh sebagai agama, namun boleh tetap ada
sebagai budaya. Dengan begitu tidak boleh ada upaya penyebaran ajaran.
Apa yang terjadi di Cikeusik ialah upaya penyebaran agama. “Bukan
maksudnya orang Ahmadiyah dihancurkan. Harus tegas, Ahmadiyah boleh
ada tapi sebagai budaya, jangan gunakan simbol Islam. Kalau tidak,
bubar sajalah,” kata Ida
Ida mencontohkan Pakistan yang menempatkan Ahmadiyah bukan sebagai
agama. “Di Pakistan sudah deklarasi semua elemen bangsa, yang
menyatakan boleh tetap eksis tapi tidak diakui sebagai agama. Maka
kalau semua elemen bangsa mengatakan bahwa ini bukan Islam, posisikan
lah ia sebagai bukan Islam,” pungkas La Ode Ida. (fas/jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2011/02/11/84224/La-Ode-Ida:-Ahmadiyah-Bukan-Agama-
http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=81493

Ahmadiyah bukan Islam haq
Tanggal : 01 Dec 2009
Sumber : Harian Terbit
Oleh MD La Ode
BELAKANGAN ini umat Islam (MUI) dan pemerintah disibukkan dengan
masalah Ahmadiyah karena dianggap terus-menerus melakukan penyesatan
umat Islam dan penistaan agama Islam haq (dari fatwa MUI). Sementara
itu Ahmadiayah tentu merasa kaget mendengar anggapan itu, karena
Ahmadiyah sendiri selama ini tentu menganggap dirinya sebagai penganut
agama Islam haq yang taat dan baik.
Selisih pendapat itu praktis telah menimbulkan konflik antara umat Islam haq
atau Islam arus utama dalam istilah pemerintah untuk sebutan pembeda
antara agama Islam haq ajaran Nabi Besar Muhammad Rasulullah SAW
dengan ajaran Ahmadiyah sebagai Islam versi Mirza Ghulam Ahmad.
Susbtansi perbedaan itu masih menjadi tema perdebatan tajam yang belum
berhenti hingga saat ini. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2008; Nomor
Kep-033/A/JA/6/2008; dan Nomor 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan
Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan Atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, agar segera menyudahi
masalah itu. Namun demikian, tampaknya belum bisa menuntaskan masalah
Agama Islam haq dengan Ahmadiyah. Sebagai upaya inisiatif
penyelesaian selisih pendapat itu maka dilakukan observasi tentang
Ahmadiyah secara fokus dan komprehensif.
Fokus observasi ini ingin mengetahui secara pasti apakah Ahmadiyah itu
agama Islam atau bukan? Jika Ahmadiyah Agama Islam, mengapa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah itu sesat dan
menyesatkan? Sebaliknya jika Ahmadiyah bukan Agama Islam, mengapa
Ahmadiayah masih diperbolehkan menggunakan nama Agama Islam, Alquran,
Masjid dan naik Haji di tanah suci Mekkah pada hal semua itu adalah
perangkat-perangkat ajaran Agama Islam? Mestinya MUI dan Pemerintah
Indonesia melarang Ahmadiyah menggunakan Islam, Alquran, Masjid dan
naik Haji di tanah suci Mekkah jika Ahmadiyah ternyata bukan Agama
Islam.
Untuk mendapatkn penjelasan substansial tentang masalah Ahmadiyah,
digunakan pendekatan studi literatur terutama untuk mendapatkan
keterangan perbandingan ajaran Islam haq dari Nabi Muhammad Rasulullah
SAW dan ajaran Islam dari Mirza Ghulam Ahmad. Jika hasil studi
literatur menjelaskan adanya kesamaan antara ajaran Agama Islam haq
dari Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan ajaran Agama Islam dari Mirza
Ghulam Ahmad, dipastikan bahwa Ahmadiyah Agama Islam haq. Sebaliknya
jika tidak sama atau terdapat perbedaan substansial dipastikan bahwa
Ahmadiyah bukan Agama Islam haq tetapi Agama Islam tiruan/plagiat.
Melalui studi literatur diperoleh keterangan pasti tentang pokok-pokok ajaran
Agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Rasulullah SAW dan
pokok-pokok ajaran Ahmadiyah yang diajarkan oleh Mirza Ghulam Ahmad.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat bahwa agama Islam adalah agama Allah
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk diteruskan kepada
seluruh umat manusia, yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan
(aqidah), dan ketentuan-ketentuan ibadah dan mu’amalah (syari’ah),
yang menentukan proses berpikir, merasa dan berbuat dan proses
terbentuknya kata hati. Dari defenisi agama Islam itu diperoleh
pengetahuan bahwa agama Islam mengandung 3 (tiga) unsur substantif.
Pertama iman, lazim disebut Rukun Iman yaitu beriman kepada Allah;
beriman kepada Malaikat-Nya; beriman kepada Kitab-Nya; beriman kepada
Rasul-Nya; beriman kepada hari akhir; dan beriman kepada Qadha dan
Qadar. Kedua rukun Islam, meliputi syahadatain; shalat; zakat; puasa;
dan haji. Ketiga ihsan, berakhlak shalih, pendekatan (mikro) yang
melaksanakan ibadat kepada Allah dan bermua’malah dengan sesama
makhluk dengan penuh keikhlasan seakan-akan disaksikan oleh Allah,
meskipun dia tidak melihat Allah.
Sedangkan pokok-pokok ajaran Ahmadiyah yang diajarkan oleh Mirza
Ghulam Ahmad kepada umat Ahmadiyah yakni, pertama, Mirza Ghulam Ahmad
mengaku sebagai Nabi dan Rasul; kedua, Mirza Ghulam Ahmad mengaku
sebagai Masih Mau’ud; ketiga, Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Nabi
dan Rasul yang mendapat wahyu Tuhan; keempat, Mirza Ghulam Ahmad
dianggap sebagai kedatangan Rasulullah yang kedua kalinya; kelima,
Mirza Ghulam Ahmad mengklaim sebagai manifestasi dari semua Nabi;
keenam, Mirza Ghulam Ahmad mengklaim mendapat mukjizat.
Hingga saat ini, Ahmadiyah di Indonesia hindup dalam kontroversi yang
tajam antara dua kutup berbeda. Kutup pertama, oleh kaum Ahmadi
Mirza Ghulam Ahmad dianggap sebagai Nabi, Rasul, dan sebagai Mujadid.
Namun Soekarno Presiden RI pertama, tidak percaya kalau Mirza Ghulam
Ahmad sebagai Nabi, Rasul, dan Mujadid sekali pun. Kutup kedua, Mirza
Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Rasul bentukan kolonial Inggeris untuk
kepentingan politik koloninya di India yang disebut strategi
“pecah-belah” (devide et impera”= seperti strategi Kolonial Belanda
di Indonesia) untuk mengalahkan kedua kekuatan politik Islam dan Sikh
di India.
Sejauh ini menurut H.M. Amin Djamaluddin dari MUI, sudah terdapat 468
ayat-ayat Tadzkirah yang bersumber dari ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Ayat-ayat suci Al-Qur’an itu dibajak oleh Mirza Ghulam Ahmad yang
antara lain bertujuan membuktikan bahwa Mirza Ghulam Ahmad pernah
menerima wahyu dari Allah Swt dan sebagai Nabi dan Rasul. Amin
Djamaluddin membuktikan perbuatan Mirza Ghulam Ahmad itu dengan
menggunakan metode perbandingan (komparasi) antara ayat-ayat suci
Al-Qur’an dengan ayat-ayat Tadzkirah yang menjadi kitab suci
Ahmadiyah.
Berdasarkan hasil studi literatur khususnya komparasi antara
pokok-pokok ajaran Islam dengan pokok-pokok ajaran Ahmadiyah,
diperoleh pengetahuan yang benar bahwa Ahmadiyah adalah Islam
plagiat/tiruan. Hal itu didasarkan pada keyakinan analitis bahwa Mirza
Ghulam Ahmad tidak pernah menerima wahyu Allah Swt. Tetapi yang benar
ialah Mirza Ghulam Ahmad melakukan plagiat/tiruan terhadap beberapa
ayat-ayat suci Al-Qur’an yang kemudian dijadikan ayat-ayat Tadzkirah
untuk membenarkan tentang ke-Nabi-an dan ke-Rasulan-nya. Karena Mirza
Ghulam Ahmad tidak pernah menerima wahyu Allah, dengan sendirnya
dipastikan bahwa Ahmadiyah bukan agama Islam dan benar-benar berada di
luar agama Islam.
Ada pun argumentasi analitis tentang keyakinan analitis itu adalah: pertama,
pokok-pokok ajaran agama Islam dengan pokok-pokok ajaran Ahmadiyah
sangat bertolak belakang. Di dalam ajaran agama Islam tidak pernah
mengajarkan adanya Rasul setelah Nabi Muhammad Rusulullah SAW. Dengan
demikian Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku Nabi dan Rasul, tidak
memenuhi persyaratan rukun iman dan rukun Islam yang menjadi ajaran
pokok Islam. Jadi baik Mirza Ghulam Ahmad maupun kaum Ahmadi tidak
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yakni Nabi besar Muhammad
Rasulullah SAW. Jadi Mirza Ghulam Ahmad dan kaum Ahmadi, tidak
beragama Islam. Kedua, Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah menerima wahyu
Allah serta bukan pula Nabi dan Rasul.
Hal itu dirujuk dengan hasil komparasi antara ayat-ayat suci Al-Qur’an
dengan ayat-ayat Tadzkirah yang berjumlah 468 ayat. Di antaranya yang
dapat diterakan di sini Mengenai ke-Nabi-an dan ke-Rasul-an Mirza
Ghulam Ahmad. Ia mengaku telah menerima wahyu dari Tuhan yang
berbunyi: ”Katakanlah (wahai Ahmad): Jika kamu benar-benar mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni
dosa-dosamu dan memberikan rahmat kepadamu dan Dia Maha Penyayang di
antara para Penyayang” (Tadzkirah halaman 221). Ayat Tadzkirah itu ia
sadur dari Al-Qur’an yang berbunyi: Katakanlah (wahai Muhammad): Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (Q.S. Ali Imran: 31).
Kemudian mengenai ke-Rasul-an Mirza Ghulam Ahmad tercantum pula pada
ayat Tadzkirah yang berbunyi: “Sesungguhnya Kami mengutus Ahmad kepada
kaumnya, akan tetapi mereka berpaling dan mereka berkata: seorang yang
amat pendusta lagi sombong” (Tadzkirah halaman 375 dan 391). Ayat
Tadzkirah itu ia sadur dari ayat suci Al-Qur’an yang berbunyi: ”Dan
tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam” (Q.S. Al-Anbiya’:107). Kedua ayat Tadzkirah
yang menyatakan ke-Nabi-an dan ke-Rasul-an Mirza Ghulam Ahmad itu ia
sadur dari ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menyatakan ke-Nabi-an dan
ke-Rasul-an Nabi Besar Muhammad Rasulullah SAW. Dengan demikian tentu
Mirza Ghulam Ahmad berpikir orang pasti akan percaya. Ternyata benar,
orang masih mempercayainya hingga saat ini.
Mengenai riwayat turunnya Kitab Tadzkirah, kata Mirza Ghulam Ahmad,
merupakan wahyu yang ia terima dari Tuhan, yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kami telah menurun-kannya (Tadzkirah) dekat Qadian dan
dengan sebenarnya Kami menurunkannya dan dengan sebenarnya telah
turun. Maha Benar Allah dan Rasul-Nya dan ketetapan Allah pasti
berlaku” (Tadzkirah halaman 74-75, 360, dan 367). Ayat Tadzkirah itu
oa sadur dari ayat suci Al-Qur’an yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam
kemuliaan” (Q.S. Al-Qadr: 1). Kemudian ia sambungkan dengan “. dekat
Qadian dan dengan sebenarnya Kami menurunkannya dan dengan sebenarnya
telah turun. Maha Benar Allah dan Rasul-Nya dan ketetapan Allah pasti
berlaku”. Pada ayat lainnya berbunyi: “Dan jika kamu dalam keraguan
tentang apa yang telah Kami turunkan, maka buatlah satu ayat yang
semisal dengannya” (Tadzkirah halaman 798). Ayat Tadzkirah itu ia
sadur juga dari ayat suci Al-Qur’an yang berbunyi bahwa: ”Dan jika
kamu dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba
kami, buatlah satu surat yang semisal Al-Qur’an itu” (Q.S. Al-Bakarah:
23).
MUI adalah organisasi Islam yang dipahami sebagai pemegang otoritas
tertinggi yang menentukan salah benarnya pelaksanaan hukum Islam di
Indonesia, baik secara individu maupun kelompok. Dari pemahaman MUI
diimbau untuk melarang Ahmadiyah di Indonesia mulai dari da’wah sampai
dengan organisasinya jika masih menggunakan Agama Islam, masjid,
Al-Qur’an, dan naik haji di Mekkah. Karena semua itu adalah ruang
lingkup Islami. Dari aspek Islam, otoritas MUI lebih fundamental
untuk melarang Ahmadiyah di Indonesia dari pada Pemerintah Indonesia.
Sedangkan otoritas Pemerintah Indonesia terbatas pada fisik Ahmadi
sebagai warga Negara untuk mendapatkan perlindungan kekerasan dari
pihak mana pun serta merekomendasikan larangan MUI terhadap Ahmadiyah.
Itulah yang disebut tanggung jawab negara terhadap Ahmadi (warga
negara Indonesia).
Dari uraian di atas diperoleh pengetahuan bahwa sesungguhnya dalam
perspektif Islam haq, Mirza Ghulam Ahmad itu seorang Nabi Palsu dan
Rasul palsu karena tidak pernah menerima wahyu Tuhan. Hal itu dapat
dibuktikan dari upaya penyadurannya terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an
yang ditemukan oleh Amin Djamaluddin berjumlah 468 ayat suci Al-Qur’an
yang disadur Mirza Ghulam Ahmad menjadi ayat-ayat Tadzkirah. Ayat-ayat
suci Al-Qur’an itu antara lain digunakan untuk menguatkan tentang
ke-Nabi-an dan ke-Rasul-an-nya serta turunnya kitab Tadzkirah. Dengan
demikian jelas dan tegas bahwa Ahmadiyah itu adalah Agama Islam
tiruan/plagiat. (Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Jurusan Ilmu
Politik Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Indonesia (UI))


No comments: