GOLDEN WORDS

Akar Segala Kebaikan Adalah Taqwa, Jika Akar Itu Ada Maka Semuanya Ada

Saturday, December 3, 2011

PEREMPUAN, DIFABILITAS DAN TUBUH


Perempuan dengan difabilitas telah membawa isu baru ke dalam wacana feminisme dan membantu mengembangkan analisa feminis tentang konstruksi sosial terhadap difabilitas. Mereka telah membangkitkan kesadaran bahwa tubuh yang diluar normalitas ternyata kurang diwakili dalam pemikiran-pemikiran feminis. Padahal pengalaman mereka ini sangat relevan dengan salah satu filosofi dalam feminisme yaitu etika kepedulian serta bersinggungan dengan isu-isu lain seperti aborsi, euthanasia dan kesehatan.
Perempuan difabel menggarisbawahi bahwa konstruksi sosial tentang tubuh perempuan, obyektifikasi dan pengendalian atas tubuh perempuan makin membuat terpuruk kaum difabel, karena secara sosial “nilai diri’ mereka makin berkurang, dan pada gilirannya ini mengurangi kepercayaan diri mereka. Jika perempuan lainnya masih bisa “beradaptasi” dengan tuntutan sosial sekitarnya dengan usaha mereka sendiri (seperti melangsingkan tubuh, meluruskan rambut, operasi payudara),maka tidak demikian dengan permpuan difabel, akan selalu ada jenjang antara idealisasi publik akan tubuh ideal perempuan dengan kondisi mereka. Apalagi jika ada tuntutan khusus terhadap perempuan supaya dapat ‘membereskan segala urusan perempuan” (misalnya urusan dapur, membesarkan anak, berkarir-beban ganda), yang menuntut vitalitas dan energi, tentu ini makin menjauhkan mereka dari tipe perempuan ideal ala masyarakat.
Konstruksi sosial atas difabel
Faktor sosial bukan hanya menentukan dan mempengaruhi kesehatan dan fungsi tubuh seseorang, lebih jauh dari itu konstruksi sosial juga menentukan apakah fungsi biologis seseorang relevan dengan situasi sosialnya. Difabilitas terjadi bukan hanya karena secara fisik berbeda dengan orang lain, tapi lebih karena kondisi sosial mensyaratkan adanya kemampuan tertentu dalam diri seseorang supaya orang tersebut mampu “hidup normal” dalam masyarakat. Kondisi sosial juga dapat menyebabkan kerusakan atau gagal mencegah kerusakan terhadap tubuh seseorang; misalnya polusi di kota besar dapat memicu penyakit pernafasan atau alergi pernafasan, atau sisi jalan yang tidak ada tempat pejalan kakinya meningkatkan resiko kecelakaan. Begitu pula terhadap para difabel, situasi sosial kita, bagaimana kita membangun infrastruktur fisik maupun psikologis, irama kerja, mensyaratkan kesempurnaan tubuh, terutama tubuh yang penuh energi dan muda (dan seringkali laki-laki!). Faktor sosial inilah yang meminggirkan kaum difabel lebih daripada perbedaan kondisi fisik mereka.
Konsep “Sang Liyan” (the other) sangat berguna untuk mengerti tentang bagaimana perlakuan terhadap kaum difabel. Kita sering menjadikan orang lain sebagai “sang liyan” dengan cara mengelompokkan mereka dalam satu kelompok yang kemudian lebih kita perlakukan sebagai obyek ketimbang menghargai mereka sebagai subyek yang bisa diterima sebagaimana adanya. Bagi orang yang non-difabel, kaum difabel dianggap sebagai simbol dari ketidaksempurnaan, kegagalan mengontrol tubuh, kerentanan terhadap penyakit dan kematian. Stigma sebagai “sang liyan” mengakibatkan oang cenderung mengabaikan keberadaan mereka, sehingga mereka makin rentan terhadap pelanggaran hak-haknya. Karena kondisi tersebut, para aktivis difabel cenderung memposisikan kondisi difabilitas sebagai kondisi yang netral sebagai bentuk keberagaman dan perbedaan dalam masyarakat.
Sumber: http://jurnalperempuan.com/2011/05/perempuan-difabilitas-dan-tubuh-2/
Dikutip dari: Jurnal Perempuan #69 “Seberapa Jauh Tanggung Jawab Negara?”

No comments: