GOLDEN WORDS

Akar Segala Kebaikan Adalah Taqwa, Jika Akar Itu Ada Maka Semuanya Ada

Saturday, December 3, 2011

Difabel: Berbeda Bukan Untuk Dibedakan


Menjadi perempuan dengan different abilities (Difabel) atau disabilitiestidaklah mudah. Seringkali para perempuan difabel ini harus menghadapi diskriminasi berlapis. Pertama, karena ia perempuan. Kedua, karena iadisable/peyandang cacat. Perlakuan tidak adil harus mereka terima karena mereka berbeda. Mereka dipandang sebelah mata, dianggap manusia yang tidak sempurna. Jangankan persamaan kesempatan, diperlakukan secara wajarpun tidak.
Angkie Yudistia adalah salah satu perempuan yang berhasil menghadapi tantangan diskriminasi berlapis tersebut. Ia tuna rungu sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Namun, Angkie membuktikan pada dunia bahwa keterbatasannya bukanlah batasan untuk menjadi sukses. Ia menyelesaikan studi S1 dan S2-nya dengan gemilang. Tahun 2008 Angkie terjun ke dunia model dengan menjadi finalis Abang None Jakarta. Ia juga terpilih sebagaiThe Most Fearless Female Cosmopolitan 2008. Saat ini, ia bekerja sebagaiCorporate Public Relation di sebuah perusahaan Oil and Gas di Jakarta. Selain itu ia juga aktif membantu Yayasan Tuna Rungu SEHJIRA, sering menjadi pembicara untuk isu difabel, dan kini ia pun sedang dalam proses menerbitkan buku yang berisi sharing experience-nya sebagai seorang perempuan difabel.
Tapi, jangan dikira ia tidak pernah mengalami masa-masa sulit. Sejak dokter menvonisnya tuna rungu, diskriminasi merupakan makanan sehari-hari baginya. Ketika kecil ia sempat mengalami krisis kepercayaan diri karena keadaannya tersebut. Teman-teman sebaya Angkie sering mengejek menyebabkan kurangnya kepercayaan diri. Namun hal tersebut tidak dibiarkannya berlarut-larut. Ia sadar bahwa ia memiliki kekurangan. Tapi, ia tidak mau memandang kekurangannya sebagai aib. Ia tidak boleh malu dengan keadaannya. Sejak itu Angkie mulai kembali ceria dan percaya diri.
“Ya, saya sadar jika kita ingin diterima oleh orang lain, kita harus menerima diri kita sendiri terlebih dahulu. Diskriminasi itu ada, dan memang akan selalu ada. Permasalahannya terletak di bagaimana kita menghadapi diskriminasi itu,” demikian kata perempuan berusia 24 tahun tersebut.
Ia juga sempat mengalami penolakan oleh beberapa perusahaan karena keterbatasan fisiknya.
“Saya pernah tidak diterima kerja hanya karena saya tidak bisa menggunakan telepon,”
Namun ia tidak mau menyerah. Angkie percaya bahwa tidak ada masalah tanpa solusi. Ia tidak mau terlalu terpuruk. Ia memilih untuk berpikir positif dan mencari solusi masalahnya dibanding terus meruntuki keadaan.
Melihat besarnya diskriminasi terhadap para difabel perempuan, Angkie tergugah untuk mengubah keadaan. Ia kemudian bergabung dengan Yayasan Tuna Rungu Sehjira untuk membantu tuna rungu lain sekaligus memperjuangkan kesetaraan tuna rungu.
Penggunaan istilah difabel (different ability) merupakan salah satu bentuk kesetaraan. Sebutan ini jauh lebih ramah dibanding terminologi cacat.  Ia berharap penggunaan istilah difabel lebih dipopulerkan dan dikembangkan. Namun, ia tetap menekankan bahwa bukan hanya terminologi yang diubah, tapi juga cara pandang.
“Masyarakat harus lebih aware, lebih memahami bahwa tidak semua orang sempurna. Hal tersebut sangat manusiawi. Pada dasarnya difabel butuh dibantu, tapi bukan untuk dikasihani.  Ya, difabel itu memang berbeda, tapi bukan untuk dibedakan. Kalo perlu dibantu, bantulah! Namun anggaplah kita semua sama. Difabel juga bagian untuk masa depan. Jadi, ubah persepsi buruk tentang mereka dan tanamkan persepsi yang positif,” ujar Angkie bijak.
Angkie berharap para difabel tidak terlalu terperangkap dengan pemikiran mereka yang tidak bisa apa-apa karena mereka cacat. Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Terimalah kekurangan dengan lapang dada dan tingkatkan segala potensi yang ada. Semua manusia setara, jangan merasa lebih rendah dari orang yang lebih sempurna secara fisik. Malah, ketidak-sempurnaan fisik yang dimiliki Angkie membuatnya merasa menjadi manusia yang jauh lebih sempurna dan menghargai kehidupan.
“Dengan keadaan seperti ini aku bisa lebih mensyukuri kehidupan aku. Aku sadar hidup itu cuma sekali, so make it worth. Hiduplah seakan-akan besok kita belum tentu kita hidup. Jadikan tiap hari cerita yang indah!” kata Angkie dengan senyum mengembang.
Oleh: Shintiya
Sumber: http://jurnalperempuan.com/2011/07/difabel-berbeda-bukan-untuk-dibedakan/



No comments: