Studi Kasus : Berita Penurunan Patung Amithaba Tanjungbalai
Pendekatan Narrative Intolerance
Sebagai agen pendorong demokrasi, setiap jurnalis dituntut untuk terus berupaya menciptakan hubungan antar suku bangsa, agama dan budaya dalam suasana damai, penuh kemengertian dan persahabatan, itulah sebabnya pemberitaan konflik diarahkan agar bersifat narrative tolerance, mengambil hal positif dalam hubungan antar budaya[1] Pendekatan narrative tolerance tidak melulu tanggungjawab organisasi media massa, tapi juga tanggunjawab jurnalis. Sebagai pekerja media, jurnalis harus mengetahui tanggungjawab atas tindakan atau pemikiran yang mereka lontarkan. Namun media seringkali lupa, kalau mereka adalah sumber dari pengajaran kebudayaan yang mengajarkan kepada publik tentang bagaimana harus bersikap, apa yang dipikirkan dirasakan, percaya, takut dan apa seharusnya yang tidak dilakukan.
Dalam pemberitaan Penurunan Patung Amithaba ini, pemberitaan media belum diarahkan kepada pendekatan narrative tolerance, tetapi sebaliknya melakukan pendekatan Narrative Intolerance-dimana pemberitaan berkesan seolah-olah masyarakat tak mungkin hidup berdampingan, pelit toleransi secara rukun dan damai. Dalam pemberitaannya, sebagian media masih menonjolkan sensasi peristiwa tuntutan penurunan patung budha Amithaba daripada menginformasikan berbagai solusi agar persolan ini dapat diselesaikan secara damai. Pemberitaan narrative Intolerance ini dapat dilihat dari pendapat/opini yang diberikan para narasumber yang dimuat di surat kabar Waspada, Berita sore dan SIB, dan Tribun berikut:
“Keberadaan patung diatap Vihara melanggar adat-istiadat dikota itu. Sejak Tanjungbalai berdiri, kota ini merupakan negeri Islam. Dimana Bumi dipijak, disitulah langit dijungjung, Jangan samakan Tanjungbalai dengan daerah lain (Waspada)”
“Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak SARA . Sejak Tanjungbalai berdiri tidak pernah terjadi kerusuhan akibat perbedaan agama. Jadi jangan sampai terjadi yang sebaliknya takkala Walikota Tanjungbalai seorang Ustad”. (Waspada)
Arti dari pernyataan diatas adalah,kotaTanjungbalai sebagai negeri Islam harus tetap dipertahankan dan harus dihormati semua pihak. Orang yang datang ke Kota Tanjungbalai harus menghomati budaya yang sudah ada. Adanya Lambang Umat lain yang lebih menonjol seperti patung Budha akan menghilangkan Citra sebagaikotaIslam.
Seandainya Patung itu tak diturunkan juga, berarti Muspida Tanjungbalai tidak punya harga diri. Tolong ditindaklanjuti persoalan ini supaya tidak terjadi SARA di Tanjungbalai ini. “Jika pihak Yayasan menyatakan tidak punya wewenang menurunkan patung itu, berarti mereka juga tidak memiliki niat baik untuk membina umat beragama diTanjungbalai sekaligus telah melawan pemerintah”(Waspada)
Kutipan diatas menekankan, Muspida yang tidak konsisten dengan janjinya untuk menurunkan patung tersebut dinilai tidak punya harga diri. Sehingga jika persoalan ini tidak selesai, maka kemungkinan akan terjadi konflik SARA. Sedangkan sikap yayasan tidak menurunkan patung tersebut itu sebagai lambang perlawanan umat Budha kepada pemerintah.
“Patung yang berdiri di kota Tanjungbalai harus diturunkan agar tidak mengganggu dan meresahkan umat Islam kota Tanjungbalai melaksanakan Ibadah Puasa di Bulan Suci Ramadhan. Untuk itu diminta Pemko Tanjungbalai harus bertanggungjawab untuk menertipkan semuan maksiat yang dapat mengganggu umat beribadah” (Berita Sore)
“Keberadaan patung Buddha Amitabha diatas bangunan Vihara Tri Ratna kota saat ini menimbulkan keresahan dan perdebatan yang panjang diantara umat beragama di kota Tanjungbalai. Untuk itu supaya memindahkan posisi patung Budha Amitabha yang berada di atas bangunan Vihara Tri Ratna kota Tanjungbalai ke tempat lain yang tetap terhormat tanpa mengurangi penghormatan terhadap keberadaan patung tersebut. Ini demi menjaga kerukunan umat beragama di kota Tanjungbalai. (Berita Sore)”
Dari bebarapa pernyataan diatas, terlihat bahwa keberadaan patung Amithaba itu adalah dianggap sebagai satu bentuk kemaksiatan yang akan mengganggu kekhusukan umat Islam untuk menjalani bulan Suci Ramadhan. Supaya tidak terus menjadi sumber perdebatan antar umat, patung tersebut harus segera digeser ketempat lain.
“Kalau dalam perjanjian masalah patung ada kesan penekanan, seolah-olah bola salju akan semakin liar jika surat perjanjian tidak ditandatangani (SIB) ”
Adapun maksud dari pernyataan ini adalah dalan penurunan patung ini, pihak Vihara mendapat penekanan dari pemerintah Tanjungbalai dengan memaksa menandatangani perjanjian. Sehingga kalausurattidak ditandatangani kemungkinan persoalan ini akan semakin besar dan pihak penuntut akan melakukan tindakan-tindakan yang semakin tidak terkendali.
Gerakan Islam Bersatu (GIB) menilai bahwa pihak Vihara Tri Ratna tidak mengindahkan nilai-nilai agama, adat istiadat dan citra umat Islam Kota Tanjung Balai yang ada selama ini. MUI meminta pemerintah agar segera menyelesaikan masalah patung tersebut agar kerukunan umat beragama tidak terkoyak koyak atau tercabik cabik, harmonis dan saling menghargai.(Tribun Medan)
Dari kutipan tersebut,pihak GIB dan MUI menilai Jika pihak Vihara tidak menurunkan patung Budha Amithaba, maka pihak Vihara telah melanggar adat istiadat dan nilai-nilai ke Islaman di Tanjungbalai, hal ini akan membuat kerukunan beragama akan berantakan di Tanjungbalai.
Peristiwa tersebut membuat Umat Budha Kota Tanjung Balai tidak nyaman untuk melaksanakan ibadahnya bahkan merasa terintimidasi. Bahkan beberapa hari ini menyebar issu jika Umat Budha tidak menurunkan Patung Budha tersebut maka kemungkinan Peristiwa 1998 (penjarahaan dan tindakan pelanggaran HAM lainnya yang terjadi kepada Komunitas Tionghoa) akan terulang kembali. Informasi yang diperoleh, Patung Budha Amitabha akan diturunkan paling lambat tanggal 9 November 2010 (Tribun Medan )
Kutipan diatas menekankan, persoalan Patung Budha ini akan berakibat fatal yaitu jika patung Budha tidak diturunkan, kemungkinan kerusuhan Mei 1998 yaitu penjarahan dan pelanggaran HAM kepada Umat Tionghoa Akan terulang kembali. Sehingga patung Budha harus diturunkan paling lambat awal September 2010.
Kutipan-kutipan berita diatas, adalah pemberitaan yang menganut prinsip narrative Intolerance yang membuat permasalahan diantara dua pihak yang berkonflik semakin benci satu sama lainnya. Sebab bilamana media terseret dengan sentiment SARA, yang muncul adalah sikap prasangka antar berbagai kelompok sosial. Dengan model pemberitaan seperti ini, tidak mustahil media massa sebagai”provokator”hingga dapat memperluas—timbulnya kesalahanpahaman antar golongan dalam masyarakat. Ini sejalan dengan asumsi bahwa media massa mempunyai kekuatan yang ampuh mempengaruhi khalayaknya.[2] Padahal secara normative mediamassa harus netral, tak lebih tak kurang dia adalah cermin realitas sosial yang bertugas merefleksikan apa yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Sumber: http://kippas.wordpress.com/2011/10/17/jurnalisme-narrative-intolerance-dalam-liputan-isu-pluralisme-2/
No comments:
Post a Comment