Saudara-saudara ku pembaca yang
bijaksana, tidak terasa sudah satu bulan lebih 2 hari (5/4) – (7/5), sejak
kejadian yang di alamai oleh Jamaah Ahmadiyah Bekasi dengan di segelnya Masjid Al
Misbah, (5/4) yang terletak di jalan Terusan Pangrango,
Nomor 44, Jatibening II, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
Masjid Al Misbah merupakan masjid
yang pembangunannya didanai dari swadaya para anggota Jamaah Ahmadiyah Jatibening
Bekasi yang berlainan profesi. Bangunan
dua lantai yang cukup megah dengan beberapa bangunan penunjang kegiatan lainnya
ini cukup menyenangkan bagi mata yang melihatnya. Namun pandangan itu menjadi tidak indah
ketika Pemkot Bekasi mengeluarkan putusan penyegelan terhadap Masjid itu dan
seluruh aktifitas Jamaah di dalamnya di segel dengan seng-seng keliling
kompleks Masjid Al Misbah. Keputusan itu
dirasa oleh beberapa Jamaah yang ketika
itu masih ada di dalam Masjid dan baru selesai melaksanakan sholat Jum’at, terkesan
terburu-buru dan terlalu di paksakan. Pasalnya atas dasar apa Pemkot menyegel
Masjid ini, kalau atas dasar SKB tiga menteri, pada pasal mana juga mereka
melanggar, sedangkan mereka sedang dalam keadaan menjalankan aktifitas sholat
Jum’at. Tertulis dipagar Masjid Al
Misbah dengan mengutip Ayat Al Qur’an Surat Al Baqarah : 114 yang terjemahannya
adalah:
Dan siapakah yang lebih aniaya dari orang yang menghalangi
menyebut nama-Nya [a]
di
dalam masjid-masjid Allah swt. dan berupaya merusaknya? [137] Mereka
itu tidak layak masuk ke dalamnya kecuali dengan rasa takut. Bagi mereka di
dunia ada kehinaan dan bagi mereka di akhirat tersedia azab
yang besar.
Ali-alih menggubris merenungkan
dan tersadar akan arti serata maksud dari ayat yang tertulis dalam Al Qur’an
yang notabenenya merupakan kitab yang sebagian
para pejabat Pemkot yakini, imani dan banggakan. Namun rupanya Pemkot lebih senang mengambil
keputusan penyegelan itu pada tiga hal:
- SKB Menteri Agama RI, Jaksa Agung RI dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2008, Kep-033/A/JA/6/2008
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11/Munas VII/MUI/15/ 2005
- Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 dan
- Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 40 Tahun 2011 (Bab IV Pasal 4).
Kemudian dengan logika dasar itu seolah-olah
Pemkot memiliki wewenang penuh untuk mengatur nasib yang namanya Jamaah
Ahmadiyah dan kemudian dapat di tebak Pemkot mengirimkan pasukannya Satpol PP
untuk mengeksekusi kompleks Al Misbah.
Pemkot Bekasi, lupa atau tidak
membaca dengan benar di dalam SKB 3 Mentri tersebut tidak ada di sebutkan
penyegelan terhadapa rumah ibadah.
Pemkot Bekasi dinilai salah langkah atau sengaja menunjukkan
kebodohannya sendiri soal ketidak tahuan tatalaksana penyelenggaraan sebuah Negara
dengan mengeluarkan putusan berlandaskan atas lembaga yang bukan kedinasan Negara
seperti Fatwa MUI. Kemudian masalah
Keputusan Gubernur juga sangat mentah jika di jadikan sandaran eksekusi
tersebut. Pasalnya Segala bentuk produk
Pergub harus mengacu kepada Permen di atasnya dan menjadi kepanjangan dari
Permen dalam hal memantau dan melaksanakan administrasi dan anggaran bagi SKPD
di bawahnya. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah
bukanlah unsur dari SKPD di bawah wewenang Pergub.
Kemudian dengan tiga alasan itu Pemkot
mengeluarkan Perda untuk mengeksekusi para Jamaah Ahmadiyah sekaligus menjadi
surat perintah untuk di teruskan kepada komandan PP di dalam pengeksekusiannya. Dalam kondisi kondisi inilah Pemkot telah
melakukan praktek tidak amanah sebagai lembaga yang harusnya menjadi PAMONG
bagi rakyat, tetapi hanya menjadi PAMONG bagi sekelompok masyarakat. Pemkot
lupa, bahwa nasi, sayuran buah yang mereka makan adalah dari pajak hasil keringat para anggota
Ahmadiyah. Dalam darah pejabat di
Bekasi, di anak istri mereka mengalir hasil keringat para anggota Ahmadiyah. Apakah mereka akan sampai hati mendikriditkan
mereka, mengkriminalisasikan praktek dan akidah keberagamanaan mereka. Alih-alih
membina, bias jadi ada agenda di balik peristiwa ini ? Kita semua tidak tau itu. Tetapi yang jelas ketika Pemkot Bekasi
memaksakan kehendaknya yang tidak cukup bukti akan tindak kejahatan,
pelanggaran seorang atau sekelompok warganya maka akan semakin jelas ada
maksud-maksud di balik keingan tersebut.
Ironinya para penegak hukum juga tidak paham apa yang menjadi tanggung
jawab mereka sebagai penegak hukum.
Mereka harus tersadar dari hipnotis agama yang mendoktrin tanpa dasar
yang logic dari agama itu sendiri.
Enam hari setelah itu (11/4),
Pemkot Bekasi menujukkan i’tikad baik dengan mengundang Jama’ah Ahmadiyah untuk
duduk bersama guna mencari titik temu masalah tersebut dengan menawarkan opsi
bahwa Ahmadiyah berkenan di bina dengan pemahaman Islam umum. Namun sekali lagi tawaran itu di tolak oleh
Jemaat Ahmadiyah karena menurut mereka, Islam seperti apa lagi yang hendak di
ajarkan. Selama ini apa yang mereka
amalkan ya ajaran Islam sama seperti apa yang di lakukan muslim lainnya. Dan pertemuan
pun terpaksa harus di bilang menemui jalan buntu.
Maka dikarenakan belum adanya
jalan keluar dan tidak menemukan kesepakatan, kemudian Pemkot Bekasi mengulur
waktu untuk mencari cara melegalkan cara yang sebenarnya terlalu di ada-ada, di
tengah-tengah tuntutan pelanggaran hak asasi manusia dan praktek diskriminasi oleh LBH Jakarta. Pemkot Bekasi terkesan menutup mata terhadap permasalahan
ini. Kita tidak tau, lakon apa lagi yang
sedang Pemkot Bekasi jalankan. Apakah
dalam rangka penerapan teori mengalihkan perhatian isu kasus-kasus korupsi yang
sedang berjalan, proyek-proyek yang tidak kelar atau yang akan di
manipulasi. Intinya kita akan ketahui
pasca penutupan Masjid Jama’ah Ahmadiyah Al Misbah kasus-kasus apa saja yang
akan dialami oleh para pimpinan di kota tersebut atau mungkin saja di
pemerintah pusat.
Hingga hari ini sekurangnya tinggal
sebelas orang anggota Ahmadiyah yang terkurung di dalam komplek Masjid, jauh
dari keluarga mereka. Entah apa yang ada
dalam pikiran Pemimpin Negeri ini, melihat kesengsaraan, penderitaan rakyat. Buta mata, buta telinga buta hati
mudah-mudahan Allah Ta’ala memberi kebaikan menyadarkannya sebelum hal-hal yang
buta tersebut terjadi.
No comments:
Post a Comment