GOLDEN WORDS

Akar Segala Kebaikan Adalah Taqwa, Jika Akar Itu Ada Maka Semuanya Ada

Tuesday, January 31, 2012

YESUS DI INDIA BAB 4 Bagian 2

Bukti Dari Buku-Buku Agama Buddha
Bukti dari buku-buku agama Buddha Untuk dimaklumi, kitab-kitab agama Buddha telah memberikan berbagai pembuktian yang cukup untuk menyimpulkan bahwa Yesus a.s. pasti pernah ke Punjab, Kashmir dan tempat-tempat lainnya.  Aku akan menyampaikan disini pembuktian tersebut agar mereka yang berfikir adil dapat mempelajari serta menyusunnya dalam runutan yang runtut sehingga mendapatkan kesimpulan yang sama.

Yang utama adalah kesamaan gelar-gelar yang disandang oleh Buddha maupun Yesus.  Begitu juga adanya kesamaan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan keduanya.  Yang dimaksud adalah agama Buddha yang terdapat di daerah-daerah di dalam ruang lingkup Tibet sepertiLeh, Lhasa, Gilgit, Hams dan lain-lain yang merupakan tempat-tempat yang terbukti pernah dikunjungi Yesus a.s.

Tentang kesamaan gelar, sebagai contoh jika Yesus dalam ajaran-ajarannya menyebut dirinya sebagai Terang Dunia, begitu juga Gautama digelari Buddha yang dalam bahasa Sansekerta berarti Terang (Sir M .M .W illiams, Buddhism, halaman 23).  Jika  Yesus dalam Injil disebut sebagai Guru, begitu juga Buddha disebut Sasta yang berarti Guru. Kalau Yesus dalam Injil disebut Yang Diberkati, Buddha pun disebut Sugt yang artinya Yang Diberkati.  Yesus dalam Injil juga dikatakan sebagai seorang yang memenuhi tujuan kedatangannya, Buddha pun digelari Sidharta yang berarti orang yang memenuhi tujuan diutusnya. Yesus juga disebut sebagai ‘tempat berlabuh yang letih dan lesu,’ sama dengan Buddha yang digelari Asarn Sarm yang artinya ‘tempat bagi para pelarian.’  Dalam Injil Yesus disebut sebagai Raja, yang diartikan sebagai Raja Kerajaan Sorga, begitu juga Buddha disebut sebagai Raja.

Juga ditemui kesamaan dalam peristiwa-peristiwa kehidupan seperti penuturan tentang Yesus yang digoda oleh Iblis dengan janji kekayaan dan kerajaan dunia asal beliau mau menyembah Iblis itu, diceritakan bahwa Buddha juga digoda Setan yang menjanjikan kemegahan raja-raja kalau mau meninggalkan kepapaan kehidupannya dan kembali ke istana.Tetapi sebagaimana Yesus tidak mematuhi Iblis, dalam riwayat dikatakan Buddha juga menentangnya.  Lihat juga buku Buddhism oleh T. W. Rhys Davids, halaman 94, serta Buddhism karangan Sir M. M. Williams.  (Buku- buku lainnya adalah Chinese Buddhism karangan Edkins, Buddha karangan O ldenbergyang diterjemahkan oleh W .Hoey; serta Life of Buddha karangan R ickhill).

Jadi gelar-gelar yang disandang Yesus sebagaimana dikemukakan dalam Injil, ternyata juga disandang oleh Buddha dalam kitab-kitab agama Buddha yang sebenarnya disusun dan dikompilasi jauh setelah kodifikasi Injil.  Bedanya hanya kecil seperti peristiwa godaan Buddha oleh Setan lebih panjang dari cerita tentang godaan Yesus dalam Injil.  Menurut penuturan agama Buddha, ketika Setan menawarkan kekayaan dan kemegahan kerajaan, Buddha katanya pada awalnya terbujuk untuk pulang ke rumah, tetapi tidak diturutinya keinginan itu.  Setan lalu datang lagi pada suatu malam sambil membawa semua anaknya guna menakut-nakuti dengan penampilan yang menakutkan.  Setan itu berbentuk ular-ular yang menyemburkan api dan racun tetapi semburan racun itu berubah menjadi bunga sedangkan apinya menjadi lingkaran halo di sekeliling Buddha. Karena tidak berhasil, Setan lalu memanggil enambelas putrinya dan menyuruh mereka memperlihatkan kecantikan mereka kepada Buddha tetapi tetap tidak berhasil.   Setan itu menggunakan segala macam cara tetapi tidak dapat merubah Buddha yang bersiteguh.  Buddha sendiri terus meningkat tahapan spiritualitasnya, sampai akhirnya setelah melalui percobaan yang berat, Buddha bisa mengalahkan musuhnya si Setan.  Cahaya dari Pengetahuan yang Benar terbuka baginya bersama datangnya  fajar pagi dimana ia menjadi mengetahui segala hal.  Saat berakhirnya pergulatan itu dianggap sebagai hari lahir agama Buddha.  Gautama pada saat itu berusia 35 tahun dan sejak itu ia disebut Sang Terang, sedangkan pohon dimana ia duduk saat itu disebut Pohon Terang.  Jika kita buka Injil, kita akan menemukan persamaan godaan kepada Buddha dengan godaan kepada Yesus (Percobaan di padang gurun), bahkan sampai kepada usia mereka saat terjadinya peristiwa itu.  Dari kitab-kitab Buddha dikatakan bahwa Setan nampak kepada Buddha bukan dalam bentuk kasar.  Pemunculannya hanya sebagai tampakan dan bicaranya sebagai bisikan ilham.  Begitu juga kepercayaan umat Kristiani bahwa Iblis tidak muncul dan bicara kepada Yesus secara langsung dengan tubuh fisik.  Pertemuan itu hanya dalam bentuk tampakan yang hanya bisa dilihat Yesus saja, sedangkan bicara Iblis dalam bentuk ilham berupa bisikan jahat ke dalam hati, yang ditolak oleh Yesus.

Kiranya patut kita renungkan mengapa begitu banyak persamaan di antara Buddha dengan Yesus.  Kaum Arya mengatakan bahwa Yesus berkenalan dengan agama Buddha saat perjalanannya di India dan setelah menyerap semua ajaran itu, lalu menyusun Injil ketika kembali ke negeri asalnya di Palestina.  Mereka menganggap Yesus telah menyusun ajaran-ajaran moralnya dengan menjiplak ajaran Buddha, sampai kepada gelar-gelar yang disandang dan cerita tentang godaan Iblis.  Namun ini adalah karangan kaum Arya saja.  Tidak benar jika dikatakan Yesus datang ke India sebelum peristiwa Penyaliban.  Beliau tidak perlu melakukan perjalanan demikian pada saat itu, tetapi ketika umat Yahudi menyangkalnya dan menyalibkannya barulah timbul perlunya perjalanan tersebut.  Berkat rahmat Tuhanlah beliau telah selamat dari kematian di kayu salib.  Karena habis sudah simpati beliau serta perhatian untuk mengajar umat Yahudi akibat dari kedegilan dan kejahilan mereka yang tidak mau menerima kebenaran, Yesus setelah mendapat wahyu Tuhan tentang sepuluhsuku bangsa Israel yang  hilang yang telah pindah ke India maka beliau lalu memutuskan untuk berjalan ke negeri itu. 

Mengingat umat Yahudi di India itu sudah beralih ke agama Buddha maka terpaksalah nabi ini memusatkan perhatiannya kepada para penganut Buddha.  Pada saat itu para pendeta Buddha di negeri tersebut sedang menantikan kedatangan Buddha ‘Messiah’ (Yang Dijanjikan).  Karena itu gelar-gelar Yesus serta ajaran moral beliau seperti ‘kasihi musuhmu,’ serta nubuatan Gautama Buddha tentang kulit beliau yang putih maka para pendeta itu menganggap Yesus sebagai Buddha.   Kemungkinan beberapa atribut, fakta-fakta kehidupan dan ajaran Yesus, secara sadar atau tidak, telah diasimilasikan kepada Buddha, mengingat kemampuan umat Hindu dalam mencatat sejarah memang kurang begitu terampil dan tertata rapih.  Sejarah kehidupan Buddha tidak pernah ada catatannya sebelum masa Yesus.  Karena itu para pendeta Buddha memiliki kesempatan untuk melekatkan kepada Buddha apa saja yang ingin mereka kemukakan. Jadi kemungkinan setelah mereka mengetahui fakta-fakta kehidupan dan ajaran Yesus, mereka mencampurkan semua ini dengan berbagai hal karangan mereka sendiri dan menyatakannya sebagai bagian dari agama Buddha.  (Kita tidak akan m engatakan bahwa agama Buddha dari awalnya tidak mengandung ajaran-ajaran moral, yang aku maksudkan adalah bagian-bagian dari Injil seperti perumpamaan-perumpamaan dan ajaran lainnya, tidak ragu lagi ditambahkan ke dalam kitab-kitab Buddha pada saat Yesus berada di negeri India). Berikut aku akan membuktikan bahwa ajaran moral dari Injil seperti juga gelar Terang Dunia dan lain-lainnya, juga dicatat sebagai bagian dari kitab-kitab Buddha pada saat Yesus berada di negeri ini setelah peristiwa penyaliban.  Ada kesamaan lain di antara Buddha dan Yesus yaitu kitab agama Buddha menyatakan kalau Buddha sedang berpuasa selama empat puluh hari ketika digoda oleh Setan. Pembaca Injil bisa membaca bahwa Yesus pun saat itu sedang berpuasa empat puluh hari.  Demikian banyak persamaan dalam ajaran-ajaran moral di antara ke duanya itu sehingga bagi mereka yang mengenal kedua agama tersebut merupakan hal yang mengherankan. Sebagai contoh, jika Injil mengatakan ‘jangan kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, kasihilah musuhmu, hiduplah dalam kemiskinan, jauhi sombong, kepalsuan dan kerakusan’ maka hal yang sama juga terdapat dalam ajaran Buddha.  Bahkan ajaran Buddha lebih jauh lagi dengan memasukkan larangan membunuh walaupun hanya semut dan serangga karena dianggap sebagai dosa.  Pokok ajaran Buddha adalah‘kasih kepada seluruh dunia, mengejar kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan semua hewan, pengembangan semangat persatuan dan kasih sesama.’ Begitu pula ajaran Injil.

Hal lainnya seperti sebagaimana Yesus mengirim murid-muridnya ke berbagai negeri, disamping beliau sendiri juga bepergian, dalam kitab Buddha pun terdapat hal serupa. Buku Buddhism karangan Sir M. M. Williams mengemukakan bahwa Buddha mengutus murid-muridnya untuk mengajar dengan mengatakan kepada mereka:
Pergilah dan mengembaralah ke semua tempat demi kasih kepada dunia dan kesejahteraan dewa-dewa dan manusia.  Pergilah ke berbagai arah tujuan.  Ajarkan doktrin (Dharham) ini, pujaan (Kalayana) di awal, tengah dan di akhir, dalam semangat (Artha) dan dalam harfiah (Vyanjana).  Ajarkan cara hidup menahan diri dengan sempurna, tidak mengumbar nafsu dan selibat (Drahmacaryam). Aku sendiri juga akan pergi untuk menyampaikan ajaran ini’ (Mahavagga 1.11.1).  (Sir M .M .W illiams, Buddhism, John M urray, London, 1889, halaman 45)  Dikatakan Buddha pergi ke Benares (sekarang Vanarasi) dan melakukan berbagai mukjizat  di daerah itu.  Buddha menyampaikan khutbah impresif di atas bukit seperti juga yang dilakukan Yesus.

Kitab-kitab itu juga menyatakan jika Buddha biasa mengajar dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan yaitu memberikan penjelasan masalah-masalah spiritual melalui analogi-analogi fisikal.  Kita mengetahui bahwa ajaran-ajaran moral itu dan cara pengajaran melalui perumpamaan-perumpamaan adalah metoda yang biasa digunakan Yesus a.s.  Semua ini beserta hal-hal lainnya cenderung mengindikasikan jika ajaran agama Buddha merupakan imitasi dari ajaran yang dibawa Yesus. Beliau pernah berada di India, pernah bepergian kemana-mana dan bertemu dengan para penganut agama Buddha. Mereka ini mengetahui kalau beliau itu seorang kudus yang memberikan mukjizat-mukjizat, lalu mencatat semuanya itu dalam kitab-kitab mereka dan mengatribusikannya kepada Buddha. Hal ini wajar saja karena sudah fitrat manusia untuk mengambil bagi dirinya apa-apa yang dirasanya baik dan bagus, termasuk mencatat dan mengingat ucapan-ucapan seseorang yang dianggapnya luar biasa.  Jadi kemungkinan besar para pengikut agama Buddha tersebut telah mereproduksi keseluruhan rangkuman Injil ke dalam kitab-kitab mereka sendiri, termasuk mengenai puasa empat puluh hari, godaan Setan, kelahiran tanpa bapak, ajaran- (Ditto, halaman 94), ajaran moral, gelar Terang Dunia, penyebutan diri sebagai Guru dan pengikutnya sebagai murid.  Kalau dalam Injil Matius 10:8 - 9 dikatakan: ‘Jangan kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu’ begitu juga perintah Buddha kepada para muridnya. Sebagaimana Injil menyarankan hidup selibat, begitu juga ajaran Buddha.  Gempa bumi yang terjadi ketika penyaliban Yesus, juga dikatakan terjadi pada saat wafatnya Buddha.

Semua titik kesamaan dalam ajaran-ajaran keduanya hanya mungkin timbul karena kenyataan adanya kunjungan Yesus ke India yang merupakan berkah bagi para pengikut agama Buddha karena mereka bisa memperoleh ajaran-ajaran beliau yang mulia. Adanya ajaran-ajaran Yesus dalam kitab-kitab Buddha juga menunjukkan kalau Yesus a.s. pada waktu itu dihormati dan dianggap sebagai Buddha sendiri.  Sebenarnya merupakan suatu keajaiban bahwa baik Buddha mau pun Yesus biasa mengajar para murid mereka dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan seperti yang ada di Injil.  Dalam salah satu perumpamaan yang mirip sekali dengan Injil itu, Buddha mengatakan:
Sebagaimana petani yang menyemai benih tidak dapat mengatakan bahwa biji ini akan membesar hari ini dan bertunas besok, begitu juga para murid; ia harus mengikuti ketentuan, melakukan meditasi, mempelajari ajaran; ia tidak akan bisa mengatakan bahwa hari ini atau besok aku akan diserahkan.’ (Ditto, halaman 51.12).   Perumpamaan lain yang diberikan Buddha adalah: ‘Sebagaimana sekelompok rusa yang hidup di hutan dan datang seorang manusia yang membukakan jalan yang salah maka rusa itu akan menderita; tetapi jika datang seseorang yang membukakan jalan yang aman maka rusa itu akan berbahagia.

Begitu juga orang-orang yang hidup mencari kenikmatan akan datang yang jahat untuk membukakan pintu delapan jejak yang salah . . . (Buddha, His Life, His Doctrine, Order; Hermann Oldenberg, halaman 191- 192).

Buddha juga mengajarkan: ‘Kesalehan adalah harta yang aman yang tidak akan bisa dicuri orang. Ini adalah harta yang menemani orang setelah kematiannya, ini adalah harta yang menjadi sumber semua pengetahuan dan kesempurnaan.’  Kita mengetahui bahwa ajaran Injil juga sama.  Naskah-naskah Buddha mengenai ajaran-ajaran ini berasal dari periode tidak berbeda jauh dengan periode kehidupan Yesus, bahkan mungkin sama periodenya. Buku Buddhism karangan Sir M. M. Williams di halaman 45 mengemukakan: ‘Ajaran moral agama Buddha amat mirip dengan ajaran agama Kristen.’ Aku sependapat dan aku mengakui bahwa keduanya sama berkata:‘Jangan mencintai dunia, tidak juga kekayaan; jangan membenci musuhmu; jangan melakukan kejahatan; taklukkan kejahatan dengan kebaikan; lakukan kepada orang lain sebagaimana engkau ingin mereka memperlakukan kamu’ semuanya itu menunjukkan kemiripan yang luar biasa di antara Injil dan ajaran Buddha, sehingga rasanya tidak perlu disebutkan lebih banyak lagi rincian lain.

Naskah-naskah agama Buddha juga mengemukakan kalau Gautama Buddha pernah menubuatkan kedatangan Buddha yang kedua yang diberi nama Metteya.  Ramalan ini dimuat dalam kitab Laggawati Sutatta yang dikemukakan oleh Oldenberg (Dr. H ermann 1 .Oldenberg ,Buddha) dalam bukunya pada halaman 142 dan berbunyi:
Ia akan menjadi pimpinan dari para pengikut yang berjumlah ratusan ribu sebagaimana aku ini sekarang menjadi pemimpin dari para pengikut yang berjumlah ratusan.’

Untuk diketahui bahwa perkataan Masiha dalam bahasa Ibrani adalah sama dengan Metteyya dalam bahasa Pali. Umum diketahui jika suatu kata diterjemahkan ke bahasa lain seringkali mengalami perubahan.

Sama dengan perkataan dari bahasa Inggris jika dialihkan ke bahasa lain juga sering mengalami perubahan. Contohnya, Max Muller dalam bukunya Sacred Books of the East, jilid 11, halaman 318, mengatakan bahwa kata ‘th’ dalam alfabet Inggris berubah menjadi ‘s’ dalam alphabet Arab atau Parsi.  Karena itu kita bisa memahami jika kata Messiah berubah menjadi Metteyya dalam bahasa Pali, yang berarti bahwa Metteyya yang akan datang menurut ramalan Buddha itu tidak lain adalah Messiah sendiri, tidak ada yang lainnya.

Temuan itu mendukung fakta tentang nubuatan Buddha yang menyatakan bahwa di dunia ini ajarannya tidak akan berumur lebih dari lima ratus tahun dimana pada saat kemunduran ajaran maupun para pengikutnya akan datang satu sosok Metteyya ke negeri itu yang akan menghidupkan ajaran itu kembali.  Kita tahu bahwa Yesus datang lima ratus tahun setelah Buddha dan pada saat itu sejalan dengan nubuatan Buddha, agama Buddha sedang menurun pamornya.  Setelah kelepasan dari penyaliban, Yesus datang ke negeri ini dan umat Buddha mengakui dan memperlakukan beliau dengan sangat hormat.  Tidak diragukan lagi jika ajaran moral dan spiritual sebagaimana disampaikan oleh Buddha telah dihidupkan kembali melalui kemunculan Yesus.

Umat Kristiani mengakui bahwa Khutbah di Bukit dan berbagai ajaran-ajaran moral yang ada di Injil adalah sama dengan yang dikhutbahkan Buddha kepada dunia lima ratus tahun sebelumnya.   Mereka ini juga menyatakan bahwa Buddha tidak saja menyampaikan doktrin-doktrin moral tetapi juga berbagai kebenaran lainnya.  Dalam pandangan mereka, gelar Terang Asia yang diterapkan pada Buddha adalah tepat sekali.  Sejalan dengan nubuatan Buddha, Yesus muncul lima ratus tahun kemudian dan sebagaimana diakui para cendekiawan Kristiani, ajaran beliau identik dengan ajaran-ajaran Buddha.  Bisa disimpulkan disini bahwa Yesus datang atau muncul dalam ‘bayangan’Buddha.  Dalam buku Oldenberg yang mengutip kitab Laggawati

Sutatta mengatakan bahwa penganut agama Buddha dalam melihat ke masa depan, mereka menghibur diri dengan pemikiran bahwa sebagai pengikut Metteyya mereka akan memperoleh keselamatan karena dalam nubuatan mengenai Metteyya disiratkan agar para penganut tersebut harus menemukannya. Pernyataan kitab itu menguatkan keyakinan bahwa sebagai petunjuk kepada mereka, Tuhan telah menciptakan dua kerangka kondisi, pertama, sejalan dengan gelar Asaf (Dalam Perjanjian Lama ada 29 kali disebut nama Asaf, antara lain dalam 1 Tawarikh 16:5),  sebagaimana disinggung dalam Perjanjian Lama yang artinya ‘dia yang menghimpun orang’ pasti Yesus telah berkunjung ke negeri dimana umat Yahudi yang terbuang itu bermukim; kedua, sejalan dengan nubuatan Buddha maka pasti para pengikut agama ini telah bertemu Yesus dan menimba ilmu spiritual dari beliau.  Memperhatikan kedua kondisi ini, dapat dipastikan kalau Yesus memang pernah berkunjung ke Tibet.  Melihat kenyataan demikian banyaknya pengaruh ajaran dan ritual agama Kristiani pada agama Buddha, menyimpulkan bahwa Yesus pernah berkunjung ke negeri mereka.  Malah kedatangan beliau itu disambut hangat karena sudah dinubuatkan sebelumnya.

Untuk dicatat, kata ‘Metteyya’ yang sering muncul dalam kitab-kitab agama Buddha pasti berarti sama dengan ‘Messiah.’ Dalam buku Tibet, Tartary, Mongolia karangan H. T. Prinsep di halaman 14 tentang Metteyya Buddha dikemukakan bahwa misionaris awal dari agama Kristen setelah melihat dan mendengar kondisi di Tibet, menyimpulkan kalau di dalam kitab-kitab lama para Lama ditemui jejak-jejak ajaran Kristen.  Di halaman yang sama juga dinyatakan bahwa para misionaris itu meyakini kalau para murid Yesus masih hidup ketika ajaran Kristen mencapai tempat tersebut.  Di halaman 171 dikatakan tidak ada keraguan kalau saat itu umum dipercaya orang akan datangnya seorang Juru Selamat (menurut Tacitus hanya orang Yahudi yang meyakini hal itu) sebagaimana diramalkan sebagai kedatangan Metteyya.  Pengarang buku ini mengemukakan dalam catatan pinggirnya tentang kitab-kitab Pitakkatayan dan Atha Kathayang berisi ramalan kedatangan Buddha yang lain seribu tahun setelah masa Sakya Muni Gautama. Gautama sendiri menyatakan bahwa dirinya adalah Buddha yang ke 25 dan masih akan datang seorang ‘Bagwa Metteyya’ yang berkulit putih.  Pengarang itu juga menyatakan kemiripan kata Metteyya dengan Messiah.  Gautama Buddha sendiri menubuatkan kemunculan seorang Messiah di negerinya, di antara umatnya dan di tengah para pengikutnya.  Buddha dalam nubuatannya itu menyebut ‘Bagwa Metteyya’ karena kata Bagwa dalam bahasa Sanskerta berarti ‘putih’ dimana Yesus yang asli berasal dari daerah Syria juga berkulit putih.

Penduduk dari negeri tempat nubuatan yaitu bangsa Magadh yang ada di daerah Bajagriha pada umumnya berkulit hitam dan Gautama Buddha sendiri berkulit hitam.  Ia menyampaikan kepada para pengikutnya tentang dua tanda jelas mengenai Buddha yang akan datang yaitu (1) ia akan ‘Bagwa’ atau berkulit putih dan (2) ia adalah ‘Metteyya’ yang berarti pengelana yang datang dari negeri jauh.  Karena itu umat Buddha selalu memperhatikan tanda-tanda tersebut sampai mereka kemudian bertemu Yesus a.s.  Semua umat Buddha saat itu tentunya meyakini bahwa lima ratus tahun setelah Buddha memang telah datang Bagwa Metteyya di negeri mereka.  Jadi tidaklah mengherankan kalau kitab-kitab Buddha kemudian mencatat kedatangan Metteyya atau Masiha ke negeri mereka sebagai pemenuhan nubuatan tersebut.   Kalau saja nubuatan itu tidak terpenuhi pada saat yang sudah ditentukan sebagaimana janji Gautama Buddha maka keimanan para pengikut agama ini tentunya akan terganggu.

Argumentasi lain yang mendukung pemenuhan nubuatan itu adalah naskah-naskah kuno di Tibet dari abad ke tujuh Masehi yang menyinggung nama Messiah yaitu penyebutan nama Yesus a.s. sebagai Mi-Shi-Hu.  Yang menyusun kompilasi naskah tersebut adalah seorang penganut agama Buddha.  Lihat buku A Record of the Buddhist Religion karangan I Tsing, dan diterjemahkan oleh G. Takakusu, seorang Jepang dan diterbitkan oleh Clarendon Press, Oxford.  Adapun I Tsing adalah seorang pengelana Cina.  Dalam apendiks buku itu,


Takakusu menyatakan bahwa dalam naskah-naskah kuno tersebut terdapat nama Mi-Shi-Hu (Lihat halaman 169 dan 223 dari buku I Tsing.)  (Masih).  Jadi dalam buku itu disebut nama Masih yang jelas bukan jiplakan penganut Buddha dari luar, tetapi diambil dari nubuatan Buddha yang kadang ditulis sebagai Masih atau juga Bagwa Metteyya.

Kesaksian lain dari kitab-kitab agama Buddha sebagaimana diutarakan oleh Sir M. Williams dalam bukunya Buddhism halaman 45, diceritakan tentang murid Buddha yang keenam yang bernama ‘Yasa.’  Kata ini rupanya bentuk lain dari ‘Yasu.’  Karena Yesus a.s. muncul lima ratus tahun setelah Gautama Buddha yaitu di abad ke enam, maka beliau disebut sebagai murid ke enam.  Profesor Max Muller dalam berkala The Nineteenth Century dari Oktober 1894 halaman 517, mendukung pandangan itu dengan mengatakan bahwa sejak lama banyak pengarang telah mengatakan adanya pengaruh agama Buddha dalam ajaran Yesus sehingga mereka sedang berusaha mencari dasar historikal bagaimana ajaran Buddha tersebut sampai ke Palestina di zamannya Yesus. Pernyataan seperti itu tentunya mendukung kitab-kitab Buddha yang menyatakan Yasa sebagai murid Buddha karena Profesor Max Muller yang diakui kecendekiawanannya pun mengakui adanya pengaruh agama Buddha pada ajaran Yesus sehingga mereka menyimpulkan bahwa Yesus adalah pengikut Buddha.
Aku sendiri tidak sependapat dengan pandangan demikian karena hal itu sama saja dengan merendahkan martabat Yesus a.s.  Pernyataan dalam kitab-kitab kuno mengenai Yasu sebagai murid Buddha hanyalah contoh dari kebiasaan para pendeta agama ini untuk menyebut seorang mulia yang muncul kemudian sebagai murid dari dia yang muncul sebelumnya. Mengenai banyaknya persamaan ajaran Buddha dengan agama Kristen, aku tidak sependapat dengan para peneliti Eropah yang mencoba-coba mencari pembuktian bahwa ajaran Buddha telah sampai ke Palestina di zamannya Yesus.  Mengapa mereka harus mencari jejak-jejak Buddha dengan cara menapak mundur demikian.  Mengapa mereka tidak mencari jejak-jejak suci Yesus di bumi berbatu Nepal, Tibet dan Kashmir?  Aku yakin para peneliti itu tidak akan menemukan apa yang mereka cari di balik seribu cadar kegelapan.  Ini adalah kerja Tuhan yang melihat dari langit betapa umat manusia yang menyembah seorang manusia lainnya telah melampaui batas dan menyebar ke seluruh dunia, dimana penyembahan Salib dan apa yang dianggap sebagai pengorbanan seorang manusia telah menjauhkan hati berjuta manusia dari Tuhan yang sebenarnya.  Kecemburuan Tuhan telah mengutus seorang hamba-Nya mewakili Yesus dari Nazaret guna memecah salib.  Sejalan dengan nubuatan lama, sosok ini muncul sebagai Al-Masih yang Dijanjikan.  Mulai saat itu tibalah waktunya untuk memecah salib yaitu menelanjangi kesalahan penyembahan Salib sama seperti mematahkan dua keping kayu.  Pemikiran bahwa Yesus naik ke langit meski pun salah, sebenarnya juga merupakan tamsil dari telah lapuknya realitas Messiah sebagaimana jasad mati yang dimakan tanah, dengan keyakinan adanya realitas Messiah yang dipercaya hidup di langit dengan jasad kasar berbentuk manusia.  Dengan demikian merupakan keniscayaan kalau Realitas ini harus turun ke dunia di akhir zaman.  Hal itu sudah terjadi dalam abad ini dalam bentuk seorang manusia.  Ia telah memecahkan Salib serta kesesatan penyembahan kepalsuan yang oleh Rasulullah s.a.w.  dalam hadits mengenai salib itu dipersamakan juga dengan babi yang dibunuh bersamaan dengan pemecahan Salib tersebut.  Tidak berarti hadits itu mengatakan bahwa Al-Masih yang dijanjikan akan membunuh para kafir dan menghancurkan salib-salib.  Pengertian dari memecah Salib adalah Tuhan yang berkuasa dilangit dan bumi ini akan mengungkapkan Realitas tersembunyi yang seketika akan menghancurkan keseluruhan struktur kredo Salib.  Membunuh babi tidak berarti secara harfiah menikam babi-babi tetapi lebih berarti sebagai membunuh sifat-sifat serupa babi seperti kedegilan dalam kepalsuan dan mengajak yang lain agar mengikuti dirinya menyantap sampah.

Para ulama Muslim telah keliru menafsirkan nubuatan tersebut. Di masa Al-Masih yang dijanjikan, perang keagamaan akan dihentikan.

Tuhan akan membukakan kebenaran sedemikian rupa agar setiap orang akan mampu melihat kemilau kebenaran dibanding kepalsuan.  Jangan pernah menganggap bahwa aku datang dengan menghunus pedang.  Sama sekali tidak, aku datang justru untuk menyarungkan kembali pedang-pedang.  Dunia ini sudah terlalu lama berkelahi di dalam kegelapan.  Banyak sudah manusia berniat baik yang diserang atau terluka oleh teman-temannya sendiri.  Sekarang ini kegelapan mulai sirna.  Malam telah berlalu dan fajar telah tiba.  Beberkatlah mereka yang menerima.  Bukti lain yang berasal dari kitab-kitab agama Buddha adalah catatan yang dikemukakan dalam halaman 419 dalam buku Buddhism karangan Oldenberg.  Dalam buku ini yang mengutip kitab agama itu bernama Mahawaga halaman 54 bagian 1 dikemukakan bahwa pewaris Buddha adalah seseorang yang bernama ‘Rahula’ yang sebenarnya merupakan perubahan bentuk dari ‘Ruhullah’ yaitu salah satu gelar Yesus a.s. Menurut kisahnya, Rahula ini adalah putra Buddha yang ditinggalkannya ketika ia mengasingkan diri dengan niatan berpisah selamanya dari isterinya.  Menurut cerita itu Buddha meninggalkan isteri dan anaknya tanpa perpisahan atau penjelasan ketika mereka sedang tidur dan pergi ke negeri lain.  Kisah demikian itu sama sekali absurd, tidak masuk akal dan menghina keagungan Buddha.  Apakah mungkin sosok seperti Buddha melupakan sama sekali tugasnya sebagai suami, tanpa menceraikan isterinya, tidak juga berpamitan untuk pergi dalam perjalanan tanpa akhir, menyakiti hati isterinya tanpa menyurati, tidak ada kasihnya kepada seorang bayi kecil dan membiarkan putranya tumbuh dewasa sendiri.  Orang yang tidak berperikemanusiaan yang mengabaikan isteri dan meninggalkannya tanpa pamit serta menghilang sebagai pencuri dan melupakan tugasnya sebagai suami seperti itu tentunya juga tidak bisa menghormati nilai-nilai moral yang ditanamkannya sendiri.  Naluriku menolak menerima hal itu sebagaimana juga aku menolak cerita dalam Injil tentang Yesus yang katanya menghardik ibunya ketika ibu ini mendekat memanggil namanya.  Jadi walaupun dongeng-dongeng tentang melukai perasaan seorangisteri dan seorang ibu seperti itu ada kemiripannya,  namun kita tidak bisa menerimanya karena jauh sekali dari standar karakter wujud sosok manusia seperti Yesus dan Gautama Buddha.  Kalau Buddha katakanlah tidak mencintai isterinya, apakah mungkin ia tidak memiliki belas kasihan kepada seorang wanita malang bersama putranya yang menderita? Hal seperti itu hanya menunjukkan kedangkalan karakter Buddha yang memedihkan hati meskipun terjadinya sudah beratus tahun yang lampau.  Hanya seorang lelaki jahat yang akan mengabaikan isterinya seperti itu, kecuali jika si isteri itu memang berakhlak buruk, tidak setia, membangkang dan galak terhadap suaminya. Dengan demikian tidak mungkin karakter demikian itu kita sematkan pada diri Buddha karena bertentangan sama sekali dengan ajarannya sendiri.  Jadi jelas kalau cerita seperti itu salah semata.

Kata ‘Rahula’ atau ‘Rhaula’ berasal dari bahasa Iberani ‘Ruhullah.’Mengenai keterkaitan ‘Rahula’ dengan Yesus, sebagaimana dijelaskan di muka adalah karena Yesus datang setelah Buddha, karena adanya kemiripan ajaran Yesus dengan agama Buddha, serta pernyataan umat Buddha bahwa ajaran itu berasal dari Buddha dan karena anggapan bahwa Yesus adalah salah seorang murid Buddha. Sebenarnya bukanlah suatu hal yang ajaib jika Buddha berdasarkan wahyu yang diterimanya, menganggap Yesus sebagai putranya.  Yang menarik juga adalah kisah lain dalam buku yang sama tentang ‘Rahula’ yang kemudian katanya terpisah dari ibunya lalu dibantu seorang pesuruh wanita bernama Magdaliyana.  Kita bisa melihat kemiripan dengan nama Magdalena yaitu salah seorang pengikut Yesus sebagaimana dikisahkan dalam Injil.

Semua bukti tersebut kiranya cukup bagi seorang yang berfikir bahwa Yesus pasti pernah berkunjung ke negeri ini.  Kita tidak bisa mengabaikan demikian banyak persamaan ajaran dan ritual di antara agama Buddha dan Kristen. Demikian banyaknya persamaan tersebut mengakibatkan kebanyakan pemikir Kristiani menganggap agama Buddha sebagai agama Kristen di Timur, sedangkan agama Kristen sebagai agama Buddha di Barat.  Memang aneh jika kita perhatikan dimana Yesus mengatakan ‘Akulah Terang Dunia dan Jalan’ begitu juga kata Buddha; kalau Injil menyebut Yesus sebagai Juru Selamat, Buddha pun menyebut dirinya Juru Selamat (lihat Lalta Wasatarra).

Dalam Injil dikemukakan Yesus tidak mempunyai bapak, begitu juga Buddha dikatakan lahir tanpa bapak, walaupun tercatat juga bahwa Yesus mempunyai bapak bernama Yusuf, begitu pula Buddha. Ada juga kisah yang mengatakan terbitnya sebuah bintang saat kelahiran Buddha.  (Yang juga mirip adalah cerita kedatangan malaikat kepada ibunda Yesus dan Buddha menyampaikan kabar akan kelahiran seorang putra agung).  Juga kisah tentang Sulaiman yang memerintahkan seorang anak dipotong dua di antara dua orang ibu yang memperebutkannya, terdapat pula kisah yang sama dalam kitab agama Buddha bernama Jataka.  Semua itu selain membuktikan bahwa Yesus pernah datang ke negeri ini, juga menjelaskan seberapa jauh perhubungan umat Yahudi yang bermukim di negeri tersebut dengan penduduk aslinya.  Kisah mula terciptanya dunia dalam kitab-kitab Buddha sangat mirip dengan cerita yang diberikan oleh Taurat.  Sebagaimana seorang lelaki dianggap lebih superior dari wanita, begitu pula dalam agama Buddha yang lebih meninggikan biarawan dibanding biarawati.  Walaupun agama Buddha meyakini transmigrasi jiwa namun pandangannya tidak bertentangan dengan ajaran Injil.  Menurut agama Buddha, transmigrasi jiwa bisa berbentuk tiga macam yaitu (1) karakteristik seorang yang mati berpindah ke tubuh orang lain, (2) jenis transmigrasi yang diyakini orang Tibet terjadi di antara para Lama dimana semangat, cara-cara dan kekuasan seeorang Buddha atau Bodhi Satwa beralih dan mengaktifkan ke Lama yang ada, (3) bahwa dalam kehidupan ini sendiri seseorang mengalami beberapa peralihan misalnya dari periode yang bersangkutan sebagai seekor banteng, lalu berubah menjadi anjing, semuanya dalam bentuk sikap dan tindakan yang berubah dengan berjalannya waktu.  Kredo ini tidak bertentangan dengan ajaran dari Injil.

Aku telah mengemukakan di atas bahwa Buddha juga meyakini eksistensi dari Iblis, sehingga dengan demikian juga percaya akan adanya akhirat, malaikat-malaikat serta Hari Penghisaban.  Tidak benar jika ada yang mengatakan Buddha tidak meyakini adanya Tuhan.  Yang benar adalah Buddha tidak mempercayai dewa-dewa dalam bentuk berhala dan kitab Veda umat Hindu.  Ia amat mencela kitab Veda dan tidak meyakini kebenaran dari kitab-kitab yang ada.   Masa kehidupan ketika ia masih sebagai seorang Hindu dan sebagai penganut Veda dianggapnya sebagai periode kelahiran yang buruk.  Sebagai contoh, Buddha menggambarkan periode-periode kehidupannya berturut-turut sebagai kera, lalu sebagai gajah, kemudian rusa, lalu anjing, empat kali sebagai ular, setelah sebagai burung pipit, terus sebagai katak, dua kali sebagai ikan, sepuluh kali sebagai harimau, empat kali sebagai unggas, dua kali sebagai babi dan sekali sebagai kelinci.  Ketika sedang periode kelinci, ia mengajar para kera, serigala, lingsang dan saat sedang menjadi roh, mengajar seorang wanita, seorang penari dan Iblis sendiri.  Semua itu mensiratkan phasa-phasa kehidupan ketika sedang sebagai pengecut, seorang yang berperangai sebagai wanita, saat sedang kejam, rakus dan saat percaya ketahayulan.  Rupanya phasa-phasa itu menggambarkan periode ketika masih menjadi penganut Veda,  karena setelah memperoleh pencerahan tidak ada lagi tersisa kehidupan jahat dalam dirinya.  Bahkan ia memaklumkan bahwa dirinya menjadi manifestasi dari Tuhan dan telah mencapai Nirvana.  Buddha juga menyatakan jika manusia meninggalkan dunia ini membawa kelakuan buruk maka ia akan dilemparkan ke neraka dimana penjaga neraka akan menyeretnya ke depan Raja Neraka yang bernama Yamah.  Orang malang itu akan ditanyai apakah ia tidak melihat Lima Suruhan yang telah dikirimkan untuk mengingatkannya yaitu Masa Kanak-kanak, Masa Tua, Penyakit, Hukuman di dunia sebagai bayangan hukumannya di akhirat serta Mayat yang menggambarkan kefanaan alam.  Jika si pendosa menjawab bahwa ia tidak melihat semua tanda itu maka penjaga neraka akan menyeretnya ke tempat hukuman dimana ia akan dirantai dengan besi yang merah membara.  Selain itu Buddha menyatakan kalau neraka itu terbagi dalam beberapa daerah sesuai berbagai kategori para pendosa.  Singkat kata, semua ajaran tersebut berkat pengaruh pribadi Yesus a.s.

Adanya nubuatan yang jelas dalam kitab-kitab Buddha tentang kedatangan Yesus ke negeri tersebut, banyaknya persamaan dalam ajaran dan perumpamaan-perumpamaan Injil dalam kitab agama Buddha yang disusun di masa kehidupan Yesus, semuanya memastikan bahwa Yesus benar pernah berkunjung ke negeri ini.