GOLDEN WORDS

Akar Segala Kebaikan Adalah Taqwa, Jika Akar Itu Ada Maka Semuanya Ada

Tuesday, September 14, 2010

HKBP Ada Dalam Jaminan Keamanan Syarat-Syarat Perang Muhammad SAW

Ilustrasi:
Penusukan dan penganiayaan terhadap penatua Hasian Sihombing dan Pendeta Luspida Simanjuntak dari HKBP Pondok Timur Indah, Ciketing, Bekasi (12/09) sangat tragis.  http://nasional.kompas.com/read/2010/09/14/19584164/Inilah.Kronologi.Kasus.HKBP.Ciketing
Tragedi ini tentunya menyisakan duka yang mendalam bagi jemaat, dan para pecinta perdamaian.  Miris kita mendengar berita tentang penganiayaan saudara kita dari HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) beberapa waktu lalu. Dimana yang menjadi korban penganiayaan tersebut adalah seorang penatu dan Pendeta yang merupakan guru ruhani saudara kita dari Kristen.  Bukan karena perbedaan keyakinan lantas itu menjadi pembenaran dari prilaku keji yang dialamatkan kepada saudara kita dari HKBP.  Memang sudah ada beberapa tersangka yang telah ditetapkan.  Jangan sampai ini merupakan provokasi belaka menanggapi masalah pembangunan rumah ibadah untuk saudara kita HKBP, oleh pihak ketiga keempat dan sebagainya.  Hal itu bisa juga menjadi usaha dari manufer-manufer politik untuk menggoyang pemerintahan?  Semua itu masih banyak kemungkinan.
Saya pribadi lebih suka menanggapi masalah ini dari sisi ajaran.  Terlepas dari siapa pelaku penganiayaan dan berlatar belakang apapun itu jubah keyakinannya.  Sejauh ini kehidupan beragama di Indonesia masih relative rukun dan bersatu dalam perbedaan, walaupun memang usaha-usaha pemecah belahan dilakukan disana-sini.  Tetapi itu semua tidak menggoyahkan bangsa ini untuk terus maju merapatkan barisan bersama-sama membangun Indoensia menuju masa depannya yang lebih baik.  Sebab dengan kekacauan, kerusuhan dan ketidak kondusifan keamanan suatu Negara atau Daerah, maka tidak ada jaminan Negara atau Daerah itu dapat maju menjadi Negara yang besar.  Di dalam keamanan ada kerukunan, ada kebersamaan, dan ada saling berempati.  Mudah-mudahan ini bukan hanya wacana belaka.  Standar keamanan yang Rasulullah saw sampaikan sangat tinggi yaitu “Sebuah Negeri dapat disebut aman jika ada seorang perempuan berjalan ditengah malam dan dia tidak merasa gelisah akan gangguan orang jahil.”  Satu pelajaran yang sangat tinggi dimana bukan saja Rasulullah saw menginginkan amannya diri/lahir  seorang perempuan berjalan di tengah malam, tetapi juga batinnya yang paling dalam juga dapat ikut merasakan keamanan tersebut, sehingga tidak timbul was-was di dalam benaknya.
Didalam sejarahnya Islam diperbolehkannya berperang diantaranya harus betul-betul teraniaya, hak ibadah dan kehidupannya dirampas.  Tetapi didalam peperangan tersebut Rasulullah saw mengajarkan bagaiman kita berperang bukan karena nafsu dan kebencian kita, tetapi semua itu karena Allah Ta’ala.  Maka Beliau memandang perlu untuk membuat suatu item-item peraturan perang yang orang-orang mu’min harus lakukan. Di dalam beberapa hadits yaitu:
1.      Kaum Muslimin dilarang melukai mayat (Muslim).  Sebagaimana yang dilakukan kafir Quraisy terhadap sahabat-sahabat Rasulullah saw, mereka mengambil jantung, hati dan memakannya dari simayat yang selama hidupnya dia sangat membencinya. Pen
2.      Kaum Muslimin dilarang tipu menipu (Muslim)
3.      Anak-anak tidak boleh dibunuh begitu pun wanita (Muslim)
4.      Pendeta-pendeta dan pejabat-pejabat petugas keagamaan dan pemimpin-pemimpin keagamaan tidak boleh dicampur tangani (Tahawi)
5.      Orang-orang tua lemah, wanita-wanita dan anak-anak tidak boleh di bunuh.  Kemungkinan-kemungkinan damai harus senantiasa di usahakan (Abu Daud)
6.      Jika kaum Muslmin masuk di daerah musuh, mereka tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap khalayak penduduk.  Mereka tidak boleh mengizinkan perlakuan tidak baik terhadap rakyat jelata (Muslim)
7.      Balatentara Muslim tidak boleh berkemah disuatu tempat yang dapat menyebabkan timbulnya rasa gelisah pada khlayak umum.  Apabila balatentara itu bergeak, hendaknya berhati_hati agar jangan membendung jalan, begitu juga jangan menimbulkan keresahan pada para pemakai jalan lainnya (Muslim)
8.      Mencacati muka orang tidak diperkenankan (Bukhari dan Muslim).
9.      Kerusakan dan kerugian yang ditimpakan kepada musuh harus ditekan sampai sekecil-kecilnya (Abu Daud).
10.  Jika tawanan perang ada dalam penjagaan, keluarga-keluarga dekat harus di kumpulkan bersama (Abu Daud).
11.  Tawanan-tawanan hendaknya harus hidup nyama, kaum Muslim harusnya lebih memperhatikan kenyamanan tawanan-tawanan mereka dari pada kenyamanan mereka  sendiri (Tirmizi)
12.  Duta-duta atau delegasi dari negeri lain harus dihormati.  Kesalahan-kesalahan atau kurangnya tatakrama mereka harus di maklumi (Abu Daud, Kitab al Jihad).
13.  Jika orang-orang Muslim berbuat dosa memperlakukan dengan cara buruk seorang tawanan perang, penebusannya ialah dengan cara membebaskan tawanan itu tanpa memungut uang tebusan  (Abu Daud, Kitab al Jihad).
14.  Jika seorang Muslim menjamin hidup seorang tawanan perang, maka tawanan itu harus diberi makanan dan pakaian yang sama seperti orang Muslim itu sendiri (Bukhari)
Ibarat kata jauh Pangga dari pada api, melihat dari apa yang menjadi ajaran yang Mulia Muhammad Rasulullah saw tampaknya sangat bersimpangan dengan tindak dan tanduk saudara-saudara kita yang mengaku muslim.  Dalam diri mereka tidak ada lagi pribadi yang dapat mengejawantahkan laku Rasulullah saw yang notabenenya pribadi yang menjadi anutan mereka dalam menjalani hidup dan kehidupan.  Beberapa pembakaran Gereja, Bom Bunuh diri yang dilakukan oleh oknum yang menamakan dirinya pemeluk-pemeluk Islam, namun sebenarnya mereka sekumpulan orang-orang bodoh, dungu dan bebal.  Hanya semangat ibadah yang mereka miliki, tetapi tidak ada kecerdasan dalam melihat dan mengamalkan ke universalan ajaran Islam yang rahmatan lil’aalaamiin.  Mereka hanya berambisi bagaimana bisa berda’wah dan orang-orang berkenan masuk kedalam Islam, tetapi tidak mengerti dengan cara bagaimana.
Dalam syarat-syarat perang yang Rasulullah sampaikan, jelas sekali menggambarkan kepada kita bagaimana jika harus dilakukan perang untuk tegaknya kebebasan beragam, maka keputusan perang itu adalah keputusan yang sangat terpaksa sekali.  Sedangkan jika ada celah sedikitpun itu untuk berdamai, maka hal itu harus di ikhtiarkan sedapat mungkin.  Dengan tujuan agar perang tidak terjadi.  Dalam aturan tersebut disinggung bahwa orang tua lemah, perempuan dan anak-anak serta pimpinan Agama, Pendeta-pendeta tidak diperkenankan untuk dilukai.  Bahkan Abu Bakar r.a. Khalifah awal telah menambah beberapa peraturan salah satunya adalah: “Bangunan-bangunan umum dan tempat ibadah, pohon-pohon buah(tanaman-tanaman pangan) tidak boleh dirusak (Mu’attha).
Jadi dengan membandingkan fenomena kejahatan yang terjadi di Negeri ini yang walau si pelaku menyeret-nyeret kejahatan yang dilakukannya ke ranah agama dan atau mengatas namakan agama, maka dengan melihat secara gamblang apa yang di ajarkan Nabi Muhammad Rasulullah saw, maka itu semua tidak ada dalam aturan atau kaidah ajaran Islam itu sendiri.  Dalam kasus saudara-saudara kita di HKBP maupun Ahmadiyah dengan merujuk kepada aturan Rasulullah saw di atas dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa Keamanan jiwa maupun ibadah ada dalam jaminan Syarat-syarat perang yang di tetapkan oleh Nabi Muhammad Rasulullah saw.  Maka siapa pun itu yang melakukan keonaran dan kejahatan semua ada diluar tanggung jawab aqidah Islam.  Islam tidak mengenal cara-cara seperti itu.
Kita mengutuk keras tindakan kejahatan apapun itu yang membawa embel-embel Jihad kah, untuk agama ini dan itu.  Sebab dalam ajaran agama mana pun kita yakin semua itu tidak kita dapatkan dalam Surau, Masjid, Mushola, Gereja, Vihara, maupun Pura.  Pemerintah harus tegas, bijak dan elegan kepada tindakan-tindakan main hakim sendiri, tidak hanya sekedar berkomentar secara normative saja.  Tetapi melalui garis kebijakan yang sudah ada harus mampu mengakomodir dan menyelesaikan tiap masalah yang timbul dengan cepat.  Sehingga tidak lagi terbuka ruang untuk para oknum pejabat yang pikirannya keblinger atau bahkan tidak paham tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat dan abdi Negara.  Harus selalu dinigat Sayidul qaumi qaadiimuhum (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan kaum itu).
Dengan mengambil pelajaran dari Yang Mulia Muhammad Rasulullah saw, Indonesia bisa damai, Indonesia bisa maju dan Indonesia  bisa besar menjadi negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Negeri yang banyak kebaikan dan Tuhan banyak menurunkan pengampunan-Nya).

Menteri Agama & Ciri ‘Ibādur Rahmān


Puasa akan segera berakhir.  Dalam kebiasaan Yang Mulia Rasulullah SAW beliau biasa mengencangkan ikat pinggang beliau ketika sepuluh hari yang terakhir di bulan suci ini.  Ini berarti bahwa segala upaya dan kesungguhan ibadah betul-betul dikerahkan dalam sepuluh hari terakhir guna mencapai derajat Taqwa.  Jika seorang hamba dalam menjalani keseluruhan hari dalam bulan Ramadhan ini dengan kesungguhan ibadah semata-mata hanya di persembahkan kepada Allah Ta’ala, kemudian dari kesungguhan itu dia tercipta menjadi pribadi yang baru dan terwujud perubahan-perubahan suci dalam dirinya maka orang tersebut dapat di sebut “‘Ibādur Rahmān” Hamba-hamba Tuhan yang Maha Pemurah. 
Untuk mendapatkan ciri-ciri  ‘Ibādur Rahmān ini bukan suatu yang mudah, karena dia akan dituntut oleh keadaan yang mengharuskan dia untuk menjadi profil yang bisa mewakili sifat-sifat Allah Ta’ala yaitu Ar-Rahmaan (Pemurah).  Hal ini mengandung maksud bahwa dia harus memiliki sifat Pemurah kepada siapapun juga.  Sifat Allah Ta’ala Ar-Rahman yakni Dia memberikan berkah dan karunia-Nya tidak memandang apakah dia Muslim atau Kafir, mendapat petunjuk atau mengingkari petunjuk.  Sebagai contoh, Allah Ta’ala telah menjadikan air, maka siapapun berhak untuk mengambil manfaat dari air tersebut.  Tidak peduli kafir atau mu’min dan tidak pula domba atau babi, semua memiliki hak yang sama dalam hal memanfaatkannya. 
Namun tentunya ada standarisasi atau syarat-syarat yang lebih spesifik seseorang layak di katakan ‘Ibādur Rahmān yaitu dalam hal ini dapat di lihat dalam Qur’an Karim surah Al Furqan : 63-64:
1.       Yamsyûna ‘alal ardhi haunan : mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan santun. 
Yakni yang dapat dikatakan seorang ‘Ibādur Rahmān dia harus dapat berlaku rendah hati kepada siapa pun juga.  Seorang ‘Ibādur Rahmān harus dapat menjadi penyejuk, pengayom dan setiap orang merasa nyaman jika ia hadir di tengah-tengah khalayak.  Segala apa yang dia bincangkan selalu akan membawa ketentraman kepada khalayak ramai.  Dia juga memberikan perhatian kepada penunaian hak-hak hamba Allah Ta’ala.  Jika dia telah melakukan itu semua tidak ada sifat sombong angkuh merasa besar diri baik pikiran maupun amalan. 
2.       Wa idza khâthabahumul jâhilûn-a qâlû salâman : Dan apabila orang-orang jahil menegur, mereka mengucap selamat.
Ciri yang kedua bagi seorang ‘Ibādur Rahmān yaitu dia akan menghindarkan diri dari segala bentuk perkelahian dan perselisihan dan jika ada kondisi memaksa dia untuk terlibat atau dia menjadi tumpuan bagi terselaikannya perselisihan tersebut maka dia akan senantiasa memberikan solusi dengan lemah lembut dan bijak sana melihat masalah dengan adil dan tidak berat sebelah.  Dia akan mengambil keputusan sesuai fakta walaupun seberapa besar tekanan yang mendesaknya.  Dalam hal ini ada juga masud lain yakni dia akan selalu menyebarkan keselamatan kepada siapa pun baik lawan maupun kawan.  Bagi ‘Ibādur Rahmān selalu akan ada cobaan yang meprovokasi kesabaran dan pribadinya, namun seorang ‘Ibādur Rahmān dia akan terus melangkah dengan pasti menuju kebaikan seraya memenuhi hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak kemanusiaan walaupun orang-orang yang tidak bersimpatik memusuhinya.  Jika datang ujian kepadanya maka dia akan bersabar sesuai kapasitas dia, serta tidak membalas kekotoran dengan kekotoran, dan senantiasa akan menganggap semua orang adalah saudara.

3.       Walladzīna yabītûna lirabbihim sujjadan wa qiyâman : Dan orang-orang yang melewatkan malam untuk Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri.
Yang ketiga adalah merupakan keadaaan khusus yang harus di ciptakan seorang ‘Ibādur Rahmān dalam menjalankan aktifitasnya sebagai pribadi yang apapun itu profesinya, baik seorang buruh, pegawai atau pun abdi Negara.  Dimana kondisi ini yang akan memberikan kekuatan baru dalam aktifitasnya menjalankan kewajibannya serta akan menjadi sumber inspirasi dan ide baru dalam menyelesaikan masalah-masalah yang menuntutnya.  Dia akan selalu setiap waktu menyandarkan dirinya hanya kepada Allah Ta’ala.  Dalam keadaan kritis baik menyangkut kehidupan pribadi atau pemenuhan hak-hak masyarakat, dia akan meminta petunjuk secara spiritual kepada Allah Ta’ala Tuhannya.  Maupun dalam kondisi aman, dia akan senantiasa berucap syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Singkat kata Tuhan menjadi sumber inspirasi dan semangat baru untuk memudahkan segala urusannya.
Dewasa ini kita sama-sama melihat masalah-masalah yang terjadi dimasyarakat Indonesia.  Timbulnya gejolak-gejolak dimasyakat adalah merupakan buah cipta atau ekses ketidak terwujudannya Rahmaniyat Allah Ta’ala baik pada tataran Pemerintah maupun Masyarakat itu sendiri.  Masih ingatkah kita dengan penyerangan terhadap saudara-saudara kita dari Jama’ah Ahmadiyah yang dilakukan oleh beberapa ormas Islam yang tentunya mengatasnamakan Islam? Dimana sudah jelas bagi kita Jamaah Ahmadiyah adalah saudara kita sesama muslim, yang dari mulut mereka mengeluarkan syahadat, dan amal mereka mengerjakan sholat.  Barang kali sulit untuk mengukur apalagi mengetahui benar tidaknya keislaman mereka, karena itu bukan pada ranah kita untuk dapat menghakimi keyakinan yang dirasakan oleh saudara kita dari Ahmadiyah.  Lebih-lebih sekarang antipati terhadap Ahmadiyah lebih diperparah oleh pernyataan Menteri Agama tentang niatnya yang akan membubarkan Jamaah Ahmadiyah dari NKRI ini.  Menteri Agama  Suryadharma Ali menegaskan, Jamaah Ahmadiyah harus membubarkan diri. Suryadharma beralasan, Ahmadiyah bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri. “Harusnya  Ahmadiyah segera dibubarkan. Kalau tidak dibubarkan masalahnya  akan terus berkembang,” kata Suryadharma setelah mengikuti  rapat gabungan di Gedung DPR, Senayan, Senin 30 Agustus 2010. (http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/08/30/brk,20100830-275156,id.html)
Menurut saya, melihat fenomena pemberitaan yang begitu gencar tentang Ahmadiyah, kita tidak boleh gegabah memutuskan masalah keyakinan saudara kita dari Ahmadiyah.  Karena masalah keyakinan tidak dapat di sentuh oleh hukum, kecuali implementasi dari sebuah keyakinan ajaran itu akan mendatangkan kerugian jiwa bagi yang meyakini atau masyarakat yang tidak meyakini maka dalam hal ini aparat yang berwajib berhak untuk meminta pertanggung jawabannya.  Menteri Agama terlalu gegabah untuk menilai Ahmadiyah sebelah mata, bahkan berkeinginan untuk membubarkannya.  Sungguh satu sikap yang tidak mencerminkan pribadi hamba Tuhan yang Maha Pemurah.
Sejarah membuktikan, Jamaah Ahmadiyah yang sudah cukup lama dinegeri ini telah ikut sama-sama membangun Indoenasia. Beberapa tokoh Pahlawan Nasional Bangsa ini juga sebagian adalah para tokoh-tokoh dari kalangan ahmadi, dan pemuda-pemudi ahmadi juga turut membidani lahirnya Indonesia ini dengan cara mempropagandakan kemerdekaan hingga ke negeri-negeri Timur Tengah khususnya India.  Maka dengan melihat fakta-fakta tersebut maka pemerintah harus berhati-hati untuk ikut campur dalam keyakinan mereka.  Masalah Ahmadiyah dapat diselesaikan dengan pendekatan diskusi-diskusi akademis, karena jika memang keyakinan itu benar maka diuji dengan alat apapun itu dia akan tetap benar.
Oleh karenanya pemerintah yang dalam kapasitasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat, harus dapat mewujudkan sifat rahmaniyat Allah Ta’ala dan masing-masing oknum negarawan juga wajib menjadi pribadi ‘Ibādur Rahmān tidak terkecuali seorang Menteri Agama, baru dia akan dapat mempertanggung jawabkan kepada manusia dan Tuhan yang dia yakini.  Saat ini merupakan detik-detik hari terakhir puasa Ramadhan yang harusnya masing-masing kita mengembangkan diri dan potensi kita untuk menjadi ‘Ibādur Rahmān (Hamba-hamba dari Yang Maha Pemurah), yang kita semakin mencintai saudara kita yang muslim atau pun yang bukan muslim yang tadinya kita benci menjadi simpati sebagai bukti kita mengikuti sifat Allah Ta’ala Ar-Rahman yakni memberikan cinta kasih tanpa memandang dari kalangan manapun dan dari keyakinan manapun itu, sehingga kita dapat menjadi seorang yang dapat diterima oleh khalayak ramai.  Dengan menjadi pribadi tersebut maka akan bertambah mulia Allah Ta’ala di mata saudara-saudara kita yang lainnya.  ‘IDUL FITRI sudah di depan mata, semoga hasil dari puasa ini dapat menjadikan diri kita sebagai ‘Ibādur Rahmān yang Allah Ta’ala inginkan.